TINJAUN TEORITIK KAJIAN SEMIOTIKA MODERN DAN KOMPONENNYA

PENDAHULUAN
Semiotika adalah ilmu yang membahas tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda-tanda. Istilah “semiotika” pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Amerika Charles Sanders Peirce pada abad ke-19 dengan merujuk pada “dokterin formal tentang tanda-tanda”. Tanda yang dimaksud disini adalah tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia sendiri pun, sejauh terikat dengan pikiran manusia, seluruhnya terdiri dari tanda-tanda. Kita pahami bersama, bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik , bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka ragam bentuk praktik social konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai jenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi. Dengan demikian manusia dapat menjalin hubungan dengan realitas (Sobur, 2006: 13). 
Istilah semiotika juga digunakan oleh Umberto Eco dalam bukunya A Theory of Semiotics dengan acuan Komite International di Paris bulan Januari 1969 dan dikukuhkan oleh Association for semiotics Studies. Roland Barthes memunculkan istilah semiology di abad yang sama (1964). Istilah ini pada hakikatnya sama, yakni studi yang mengkaji tentang tanda, hanya saja ia merujuk pada Ferdianan De Saussure selaku bapak linguistic modern. 
“Semiotika” dan “semiologi” merupakan dua istilah yang memiliki focus kajian pada tanda. Saussure mendefinisikan semiologi sebagai ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat.  Dengan demikian semiologi berhubungan dengan psikologi social. Perbedaanya hanya pada penggunaan. Apabila seseorang itu menggunakan istilah “semiotika” berarti ini mengikuti gagasan dari Peirce, dan jika menggunakan istilah “semiology” berarti ini mengikuti Sasussurian, karena Roland Barthes adalah salah satu penganut aliran strukturalisme. Pada kajian ini, istilah yang akan digunakan adalah semiotika, karena istilah tersebut sudah sangat dikenal dikalangan dosen maupun mahasiswa.
Dari pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya semiotika adalah ilmu yang mempelajari dan mengkaji tentang tanda. Tanda itu memiliki makna yang sangat luas, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Untuk memahami tanda yang ada tidaklah mudah dan bahkan dibutuhkan penelitian untuk menebak makna tanda itu. 
Sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat dan selalu melakukan interaksi dengan masyarakat lainnya tentu membutuhkan suatu alat komunikasi agar dapat memahai tentang tanda yang disampaikan. Supaya tanda itu dapat dipahami secara benar dan sama membutuhkan konsep yang sama supaya tidak terjadi misunderstanding atau salah pengertian. Namun pada kenyataanya tanda itu tidak selamnya bisa dipahami secara benar oleh masyarakat. Karena setiap orang memiliki kemampuan interpretasi makna yang berbeda-beda dengan berbagai latar belakang yang berbeda pula. 

PEMBAHASAN
A. Ruang lingkup Kajian Semiotika
Semiotika merupakan kajian yang sangat luas dan selalu mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Lingkup kajian diketahui hingga saat ini adalah pada kajian teks, komunikasi nonverbal, serta estetika dan komunikasi visual. Dari beberapa point tersebut terdapat point-point bagian yang menjadi objek dari kajian semiotika. 
Dalam kajian teks, ruang lingkup studi semiotika meliputi sastra, puisi, teater dan drama, naratif, miots, idologi, dan teologi. Semiotika dalam lingkup kajian ini, biasanya digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian karya sastra ataupun drama dan yang lainnya. Foklor juga dapat menjadi salah satu objek dalam runag lingkup ini. Dalam Komunikasi Nonverbal meliputi bahasa tubuh, sinyal-sinyal wajah. tatapan mata. Dan lingkup estetika dan komunikasi visual meliputi, music, arsitektur, objek, citra, lukisan, fotografi, film, komik dan iklan. 
Dari beberapa ruang lingkup dan sub point, menunjukkan luasnya kajian semiotic sebagai disiplin ilmu. Oleh sebab itu dalam perkembangnnya kajian semitika dibagi menjadi beberapa disiplin ilmu yang lebih focus pada lingkup kajiannya. Adapun pembagian kajian semiotic sebagai berikut (Petada 2010: 29-32):
1. Semiotika Analitik yakni semiotika yang menganalisis sistem tanda. Peirce menyatakan bahwa semiotika berobjek tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambing, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambing yang mengacu kepada objek tertentu.
2. Semiotika Deskriptif, yakni semiotic yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendungmenandakan hujan tidak lama lagi turun, dari dahulu sampai sekarang tetap seperti itu. Demikian pula kalau ombak memutih di tengah laut, itu menandakan bahwa laut berombak besar. Namun, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
3. Semiotika Faunal yakni sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya ayam betina yang berkotek menandakan ayam itu telah bertelur.
4. Semiotic kultural, yakni semiotic yang khusus menela’ah sistem tanda yang berlaku dalam  kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahu masyarakat adalah makhluk social dan dan memiliki sistem budaya tertentu yang dipertahankan secara turun-menurun. Budaya masyarakat itulah yang menjadi tandai tersebdiri bagi masyarakat di daerah tertentu.
5. Semiotika naratif, yakni sistem semiotika yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Telah diketahui bahwa mitos dan cerita lisan, ada diantaranya memiliki nilai kultural tinggi. Itu sebabnya Greimas memulai pembahasannya tentang nilai-nilai kultural ketika ia membahasa persolan semiotika naratif.
6. Semiotika natural, yaitu semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan bahwa di hulu telah turun hujan, dan daun pohon-pohonan menguning lulu gugur menandakan bahwa telah tiba musim gugur.
7. Semiotika normative, yaitu semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma. Misalnya rambu-rambu lalu lintas.
8. Semiotika Sosial, yaitu sistem semiotika yang membahas sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambing. Baik lambang berwujud kata maupun lambang yang berwujud kalimat. Halliday mendefinisikan ini sebagai sistem standa yang terdapat dalam bahasa.
9. Semiotika Struktural, yakni semiotic yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanivestasikan melalui struktur bahasa.

B. Makna Kata “Tanda” dalam Semiotika
Bagi De Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. De Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubungan itu adalah mufakat (konvensi)’a body of necessary conventions adopted by society to enable members of society to use their language faculty (De Saussure, 1986:10). Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan (unreasonable) atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata bunga yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang bunga  dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adanya batas-batas (boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa.
Petanda selalu akan lepas dari jangkauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran paradigmatik maupun sintagmatik. Ini dimungkinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is not (Budiman, 2002:30). Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing.
Van Zoest (1993) memberikan lima ciri dari tanda. Pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda.  Sebagai contoh van Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang duduk dalam kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding pengaman (lekuk) dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang-kerang yang sedemikian rupa sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa kata tersebut menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita menganggap dan menginterpretasikannya sebagai tanda.
Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir, kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari orang lain.
Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal ini Duisburg merujuk ke satu kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’, ‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’.
Keempat, tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung dengan sifat interpretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan itu bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran ‘di sana duduk -duduk orang Jerman’.
Kelima, sesuatu hanya dapat merupakan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya dengan ground (dasar, latar) dari tanda. Kita menganggap Duisburg sebagai sebuah tanda karena kita dapat membaca huruf-huruf itu, mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu membentuk sebuah kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di Jerman. Dengan perkataan lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu keseluruhan peraturan, perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang dimaksud dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda yang bukan hanya atas dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan interpretasi individual dan insidental atau berdasarkan pengalaman pribadi.
C. Tokoh – Tokoh Semiotika Modern
Kalau kita telusuri dalam buku-buku semiotik yang ada, hampir sebagian besar  menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913). De Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916).
Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914) seorang filsuf Amerika, Charles Williams Morris (1901-1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembangkan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (1915-1980), Algirdas Greimas (1917-1992), Yuri Lotman (1922-1993), Christian Metz (1923-1993), Umberco Eco (1932), dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain deSaussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899-1966) dan Roman Jakobson (1896-1982). Dalam ilmu antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901-1981) dalam psikoanalisis.
Strukturalisme adalah sebuah metode yang telah diacu oleh banyak ahli semiotik, hal itu didasarkan pada model linguistik struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative. Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena.  Semiotik sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural yaitu menganalisis hubungan hubungan internal bagian-bagian dengan a self-contained system, dan mencoba mengembangkan penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik.
Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang strukturalisme dalam konteks perkembangan kajian budaya harus dilakukan dalam konteks perkembangannya ke semiotik yang seolah-olah lahir sesudahnya. Sebenarnya bibitnya telah lahir bersama dalam kuliah-kuliah Ferdinad de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme dan semiotik (oleh de Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat) (Hoed, 2002:1). Jadi tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotik khususnya di Eropa tidak dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang mendahuluinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan budaya. Perkembangan dari strukturalis ke semiotik dapat dibagi dua yakni yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri-ciri strukturalismenya masih sangat kelihatan (kontinuitas) dan yang sifatnya mulai meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan kebudayaan sebagai sistem tanda (evolusi).

D. Bahasa Sebagai Sistem Semiotik
Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan demikian, karena keberadaan makna selain ditentukan oleh kehadiran dan hubungan antar lambang kebahasaan itu sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial dan situasional yang melatarinya. Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki fungsi eksternal juga fungsi internal. Oleh sebab itu selain dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga untuk mengolah informasi dan dialog antar -diri sendiri.
Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada: 1) karakteristik hubungan antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang lainnya, 2) hubungan antar bentuk kebahasaan dengan dunia luar yang diacunya, 3) hubungan antara kode dengan pemakainya. Studi tentang sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik berupa tanda kebahasaan maupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam komunikasi masuk dalam ruang lingkup semiotik (Aminuddin, 1988:37).
Sejalan dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen tersebut adalah: 1) sintaktik, yakni komponen yang berkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungannya, 2) semantik, yakni unsur yang berkaitan dengan masalah hubungan antara lambang dengan dunia luar yang diacunya, 3) pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.
Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi manusia dapat dibedakan antara media berupa bahasa atau media verbal dengan media non-bahasa atau nonverbal. Sementara media kebahasaan itu, ditinjau dari alat pemunculannya atau chanel dibedakan pula antara media lisan dengan media tulis. Dalam media lisan misalnya, wujud kalimat perintah dan kalimat tanya dengan mudah dapat dibedakan lewat pemakaian bunyi suprasegmental atau pemunculan kinesik, yakni gerak bagian tubuh yang menuansakan makna tertentu. Kaidah penataan kalimat selalu dilatari tendesi semantis tertentu. Dengan kata lain sistem kaidah penataan lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan dengan strata makna dalam suatu bahasa. Pada sisi lain makna sebagai label yang mengacu realitas tertentu juga memiliki sistem hubungannya sendiri (Aminuddin, 1988:38).
Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai (user atau interpreter), menjadi bagian dari sistem semiotik sehingga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya. Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya, ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa. Sehubungan dengan itu Abram’s (1981: 171) mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the underlying system of language, not on the parole.

Share:

0 komentar