MAKALAH
MAKALAH
Pemikiran Nahwu Madrasah Baghdad
Diajukan untuk memenuhi tugas semester IV
dalam mata kuliah Ushul Nahwu
Dosen Pengampu:
Tamim Mulloh, M.Pd
Disusun Oleh:
Fatimah Az-Zahro 12310061
Kisno Umbar 12310112
Anati Rahila 12310045
Miftahul Anwar 12310100
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Humaniora
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
2014
Kata Pengantar
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah dengan rahmat dan petunjuk Allah yang maha kuasa, kita sebagai hamba-Nya tetap dapat merasakan berjuta kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya., sehingga kami dapat menyelesaikan apa yang menjadi tugas kami sebagai seorang mahasiswa.
Pada kesempatam kali ini, kami yang tergabung dalam satu kelompok dapat menyelesaikan apa yang diamanahkan kapada kami, yakni makalah dalam mata kuliah Ushul Nahwu dengan judul Pemikiran Nahwu Bagdad. Makalah ini disusun berdasakan analisis bersama dengan menggunakan refrensi yang terpercaya dalam pengembangan mata kuliah terkait.
Makalah ini menyajikan landasan dasar berdirinya aliran nahwu Bagdad yang dipelopori oleh Ibnu Kisani, serta perkembangannya hingga zaman modern. Lain dari pada itu, hal yang menjadi kekhususan Aliran Nahwu Bagdad juga kami sampaikan dengan jelas dan sistematis
Terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung dalam penyelesaian makalah ini, khususnya kepada Dosen Pengampu yang telah memberikan materi ini dengan sangat representative. Apa yang menjadi tulisan kami ini tentu masih sangat jauh dari titik kesempurnaan, oleh sebab itu kritik saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk kebaikan bersama.
Malang, 21 April 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Nahwu merupakan salah satu kajian terbenting dalam ilmu tata bahasa arab yang digunakan untuk memahami teks-teks yang yang disajikan berbahasa arab. Secara bahasa Nahwu diartikan sebagai al-thoriq, yang artinya jalan, al-jihat yang artinya arah, dan al-mitslu yang artinya perumpamaan.[1] Secara istilah nahwu diartikan sebagai ilmu yang digunakan untuk mengetahui keadaan suatu akhir kata dalam i’rob[2] dan bentuk suatu kalimat.
Kajian nahwu muncul sebagai salah satu disiplin keilmuan muncul di tahun ke-1 Hijriyah di Basroh yang diprakarsai oleh Abu Aswad Ad-Du’ali atas mandat dari Khalifah Ali bin Abi Thalib.[3] Hal yang pertama dilakukan oleh Abu Aswad Ad-Du’ali adalah memberikan tanda nuqt (titik) pada musyahaf (al As’ad, 1992:53). karena ditakutkan terjadi kesalahan dalam pembacaan Al-Qur’an. Langkah itu kemudian diteruskan oleh Imam Kholil bin Ahmad Al-Farahidi dengan meletakkan tanda baca (fathah, kasrah, dhammah, dan sukun) (Hasan, 2000: 28). Hal inilah yang kemudian disebut dengan alamat I’rob.
Nahwu mengalami perkembangan pesat seiring lahirnya aliran-aliran pemikiran, yang disebut madzhab sejak tahun ke-1 Hijriyah. Perkembangan ini dimulai dari tepat asal digagasanya ilmu nahwu yakni Basroh yang berhasil memunculkan pakar-pakar nahwu. Salah satunya adalah Sibawaih dengan kitabnya Al-Kitab yang menjadi rujukan hingga saat ini. Bahkan dianggap oleh Abu al-Thoyib al-Lughowi (w.351) sebagai “Qur’an an-Nahwu.[4] Perkembangan ini kemudian disusul Kufah yang dipelopori oleh Imam Kisa’i. Kisa’i. Dua aliran inilah yang kemudian tumbuh besar mendalami kajian bidang tata bahasa arab, khusunya nahwu hingga zaman sekarang.
Munculah beberapa golongan lain yang juga mengkaji ilmu tata bahasa ini, diantaranya adalah sebagai berikut: Bagdad, Andalusia, dan Mesir.[5] Tiga aliran ini adalah pengembangan dari pada kajian nahwu Basroh yang telah menjadi dasar, hanya saja terdapat hal yang berbeda dalam metode yang digunakan untuk mengembangkan keilmuan.
Jika dikaji ulang, masalah mendasar yang menimbulkan perbedaan adalah dalam al adilah al-nahwiyah (dalil-dalil nahwu) disamping ideologi yang dianut dan sistem pemerintahan yang membelenggu mereka. Seperti halnya Ibnu Jini yang beraliran Mu’tazilah, maka dia cenderung condong berpola pikir yang dapat dinalar dengan rasio, begitu juga dengan Abu Aswad Ad-Du’ali yang beraliran Syi’ah.[6]
Dari lima aliran nahwu yang telah berkembang di Timur Tengah ini, penulis ingin menyajikan dari salah satunya, yakni aliran nahwu Bagdad. Aliran nahwu Bagdad menarik untuk dikaji karena dilihat dari kemunculannya, aliran ini bukanlah yang pertama dan juga bukan aliran yang terakhir.
Dari beberapa pemaparan nanti mungkin akan diketahui aliran Bagdad ini lebih condong ke madzhab Basroh atau Kufah atau memang berdiri dengan sendirinya.
2. Rumusan Masalah
a. Apakah yang melatar belakangi berdirinya Madrasah Bagdad?
b.Bagaiamana al-adilah an-nahwiyah yang digunakan untuk mendalami keilmuan nahwu ala Bagdad?
c. Bagaiman bentuk produk Nahwu yang dihasilkan oleh Madrasah Baghdad?
3. Tujuan Pembahasan
a. Mengetahui latar belakang berdirinya Madrasah Bagdad dan penggagasnya.
b. Mengetahui al-adilah an-nahwiyah yang digunakan oleh Madrasah Bagdad dalam mengembangkan kajian di bidang nahwu.
c.Mengetahui produk Nahwu yang dihasilkan oleh Madrasah Baghdad
BAB II
PEMBAHASAN
1. Letak Geografis
Baghdad (بغداد) adalah ibu kota Irak dan provinsi Baghdad. Bagdad adalah kota terbesar kedua di Asia Barat Daya setelah Teheran, dengan populasinya pada 2003 diperkirakan mencapai 5.772.000. Terletak pada Sungai Tigris pada 33°20 utara dan 44°26 timur, kota ini dulunya pernah menjadi pusat peradaban Islam.
Kota Baghdad didirikan di tepi barat Tigris di suatu waktu antara tahun 762 dan 767 oleh kekholifahan Abasiyah yang dipimpin oleh Khalifah Al-Mansur. Kota ini kemungkinan dibangun di bekas sebuah perkampungan Persia. Kota ini menggantikan Ctesiphon, ibu kota Kekaisaran Persia dan Damaskus sebagai ibu kota sebuah kekaisaran Muslim yang mencakup wilayah dari Afrika Utara hingga Persia. Asal mula namanya tidak diketahui pasti: ada yang percaya ia berasal dari bahasa Persia untuk "pemberian Tuhan" ("bag" (Tuhan) dan "dad" (pemberian)), sementara yang lainnya yakin bahwa ia berasal dari sebuah kalimat dalam bahasa Aramaik yang berarti "kandang domba" Sebuah dinding yang melingkar dibangun di sekeliling kota ini sehingga Bagdad dikenal sebagai "Kota Bulat".
Dikitari 3 tembok benteng, kota ini terbagi jadi 4 bagian sama, dengan 4 jalan utama dari istana kholifah ke arah masjid agung dan terus menyebar ke seluruh Iraq. Meliputi kira-kira 2 mil pada tepi timur antara gerbang alun-alun al-Mu’azzam di utara dan alun-alun ash-Shorqui di selatan, pada zaman modern pun kota kuno Bagdad masih bisa dikenali dalam istana Abbasiyah dari akhir abad ke-12 atau 13, dalam basaar-basaar penuh tembaga dan emas, serta di masjid dan pemandian umum, yang dibangun 4 abad kekuasaan kerajaan Ottoman (1535-1918).
Bentuk melingkar Baghdad tentu saja merupakan bukti bahwa ia mencontoh daripada kota-kota Persia seperti Firouzabad di Persia. Malah kini diketahui bahwa kedua desainer yang disewa al-Mansyur untuk merencanakan kota tersebut adalah Nowbakht, mantan Zoroastrian Persia, dan Mashallah, seorang bekas Yahudi dari Khorasan, Iran.[7]
2. Sejarah Ilmu Nahwu Bagdad
Baghdad merupakan pusat peradaban baru Islam di zaman ke-4 abad Hijriyah di masa pemerintahan bani Abasyiah. Kota baghdad dibangun lebih megah lagi ketika masa khalifah kedua Dinasti Abasiyah yakni pada masa khalifah Al-Mansur Billah Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutholib atau yang dikenal dengan sebutan Abu Ja’far Al-Mansur. Hal ini menjadikan kota bagdad semakin maju dengan pesat apalagi didukung dengan posisi strategisnya yang dikelilingi sungai Efrat (al-Furat) dan Dajlah.[8]
Perkembangan kota bagdad telah menjadikan pesaing baru bagi kota basroh dan kufah yang berada di iraq. Dua kota ini adalah pusat perkembangan kebudayaan dan intelektual arab sebelum adanya baghdad. Oleh sebab itu banyak golongan dari dua kota besar iraq tersebut berimigrasi ke Baghdad untuk mengembangakan keilmuannya di pusat peradaban islam. Tetapi karena kota kufah lah yang paling dekat dengan bagdad maka, perkembangan aliran ilmu dari golongan kufah lebih cepat tersebar di tanah bagdad dibanding dengan basrah.
Melihat realitas yang telah terjadi, goloangan inteletual basroh tetap melakukan imigrasi untuk turut mengembangkan keilmuannya juga di kota baghdad. Dengan demikian berarti dua dolongan ini (basroh dan kufah) telah mendapatkan tempat baru untuk bersaing mengebangkan keilmuan tentang kajian bahasa yang lebih akrab dengan sebutan “Kajian Ilmu Nahwu”. Terjadilah persangain besar diantara golongan ini yang tidak pernah menemukan titik temu sama halnya dengan saat berada di Irak. Karena Basroh lebih menggunakan rasio dalam menggali aladilah an-nahwiyah, sedangkan kufah lebih menggunakan kajian tekstual untuk Al-adilah An-nahwiyah nya.
Kesadaran akan persaingan inilah yang kemudian memunculkan aliran (Madzhab) baru dalam kajian ilmu nahwu yang dikenal dengan madzhab Bagdad. Madzhab bagdad merupakan aliran nahwu yang dibangun dengan kombinasi aliran Basroh dan Kufah, sebagaimana dengan yang diungkapakan oleh Abu Bakar Muhammad bin Qosim Al-Anbary.[9]
Aliran Nahwu Madzhab Bagdad ini di pelopori oleh beberapa inteletual, diantaranya adalah: Abu Hanîfah Ahmad bin Dâwud al-Dinawari, Abu al-Thayyib Mihammad bin Ahmad bin Ishâq al-A’rabi al-Wasyâ’, Ibnu Kaisân Muhammad bin Ahmad bin Ibrâhim bin Kaisân, al-Akhfash al-Shagîr, Ali bin Sulaiman bin al-Fadhl al-Nahwiyyi. dari beberapa intelektual tersebut, Ibnu Kaisan hadir sebagai ketua dari pada madrasah baghdad[10] yang pertama kalinya.
Oleh karena sifatnya yang ekletis atau pengkombinasian itu, maka mazhab Baghdad tersebut memiliki karakternya sendiri, yaitu tidak terlalu bersifat rasional seperti yang menjadi ciri khas mazhab Bashrah, dan tidak pula terlalu tekstual seperti karakter khas mazhab Kufah. Namun demikian, para peneliti nahwu sering mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi mazhab baghdad ini. Sebab, meskipun disebut sebagai mazhab ekletis dari dua mazhab (Bashrah dan Kufah), para tokoh mazhab ini masih sering menampakan ego masing-masing mazhab asal mereka.
Oleh karena itu, banyak peneliti nahwu yang belakangan ini meragukan adanya mazhab tersebut. Bagi mereka, apa yang disebut dengan mazhab Baghdad, sebenarnya hanyalah sekedar mencampur adukan dua mazhab (Bashrah dan Kufah) tanpa disertai adanya upaya pencarian identitas maupun karakter tersendiri selain karakter pencampuradukan itu sendiri. Akan tetapi keraguan ataupun penolakan terhadap eksistensi mazhab Baghdad ini disanggah oleh, misalnya, Abd al-’AlSalim Mukrim. Menurutnya, eksistensi mazhab Baghdad merupakan suatu keniscayaan dan telah menjadi fakta historis. Sebab, banyak literatur nahwu telah mengabadikan pandangan-pandangan khas mazhab tersebut yang tidak sejalan dengan mayoritas mazhab Bashrah maupun Kufah. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini, tegas Abd al-‘Alsalim Mukrim silahkan membuka buku semisal al-Ham’,al-Tashrihdanal-Asymuni.[11]
Walaupun yang dikatakan Abd Al-‘alsalim Mikrim demikian, Abu Ali Alfarisi dan seorang muridnya yang jenius yakni Ibnu Jinni Mereka berdua adalah inteletual yang berusaha menafikan adanya madrsah Baghdad dengan berlandaskan dua alasan. Pertama, berdirinya Madzhab Bagdad yang dilandaskan pendirinya pada aliran nahwu basroh dan Kufah. Kedua, dua aliran yang kita ketahui tersebut yakni Kufah dan Baghdad adalah dua aliran yang terbentuk dari nahwu Basroh.[12]
Dengan demikian, aliran nahwu baghdad terbagi menjadi dua golongan. Golongan yang melandasakan kajian ilmu nahwunya pada ulama Kufah, dinataranya adalah sebagai berikut: Ibnu Kaisan (299H), Ibnu Syuqair (315H), Ibnu Khiyath (320H).[13] Tiga tokoh ini pada awalnya adalah ulama’ Kufah yang kemudian mempelajari metode nahwu Basroh, an menggabungkan keduanya untuk dapat dijadikan sebuah aliran nahwu baru yakni nahwu Bagdad. Golongan yang melandasakan kajian ilmu nahwunya dapa aliran nahwu Basroh, diantaranya sebagai berikut: Abu Al-Farisi dan muridnya Ibnu Jinni mereka ini juga dikatakan sebagai ulama’ kotemporer dari Madzbah Baghdad.
3. Kekhususan Nahwu Aliran Bagdad
a. Kekhususan Nahwu Baghdad menurut Dr. Makhzumi dalam kitabnya “al-Darsun Nahwi fi Baghdad” sebagai berikut:[14]
1) Terbebas dari hukum rasio dalam pembelajaran bahasa,
2) Menyandarkan sesuatu kepada nahwu arab,
3) Pembaharuan dalam pola pembelajaran disampaing aspek
4) Lebih menggunakan Naql dari pada Qiyas.
b. Menurut Syauqi Dhoif, sebagai berikut:[15]
1) Sebagian dari pakar ahli nahwu Baghdad ada yang lebih condong pada Basroh, dan ada pula yang condong pada Kufah,
2) Mengkombinasikan antara aliran nahwu Basroh dan Kufah,
3) Membuka pintu ijtihad nahwiyah bagi para pakar pembaharu
c. Menurut Khodjijah al-Haditsy, sebagai berikut:[16]
1) Mencampurkan dua basroh dan kufah dalam Madzhab Baghdad.
2) Sebagian golongan mengunggulkan Basroh dan sebagain lagi Kufah,
3) Terdapat golongan yang tidak mencampurkan keduanya, tetapi lebih condong pada dua golongan nahwu yang terdahulu.
Dari beberapa karakteristik aliran nahwu Bagdad, maka dapat diketahui sesungguhnya letak karakteristik itu hanya ada dua. Adapan penjelasannya sebagai berikut:
a. الخلط
Dalam kamus Munawir, kata الخلط diartikan sebagai “percampuran”.[17] Dalam istilah kata-kata tersebut diartikan sebagai percampuran dua aliran nahwu Basroh dan bagdad, yang kemudian dijadikan pedoman dalam berdirinya Madzhab Baghdad. Ini adalah langkah yang ditempuh para pendiri aliran madzhab Baghdad. Mereka berasal dari ulama’ Kufah yang kemudian mempelajari aliran nahwu Basroh. Hal ini di latar belakangi atas kesadaran akan perpecahan dua aliran nahwu besar yang tiada hentinya.[18] Dalam bidang ini, para pakar menggunakan metode sima’i dan qiyasi untuk menentukan al-adilah an-nahwiyah.
b. الانتخاب
Dalam kamus munawir kata-kata ini mutarodif[19] dengan lafad “الاختيار” artinya pilihan.[20] Secara istilah yang dimaksud dengan lafad diatas adalah memilih antara menggunakan madzhab Basroh atau mazhab Kufah dalam menjalankan aliran nahwu madzhab Baghdad. Hal ini menjadi kekhususan dari pada pakar nahwu Baghdad kotemporer. Aliran nahwu kotemporer lebih condong dari pada salah satu aliran besar dalam kajian nahwu, dan mereka memilih tidak mengkobinasikan keduanya.[21] Golongan yang condong pada kufah mengguanakan metode qiyasi, dan golongan yang condong pada Basroh menggunakan metode sima’i untuk menentukan al-adilah an-nahwiyah.
4. Ahli Nahwu Bagdad
a. Pakar Nahwu Madzhab Baghdad
1) Abu Musa Al-Khamidh
Nama lengkapnya adalah Abu Musa Sulaiman bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Dia belajar ilmu nahwu dari Abu Abbas, pada saat dia berusia sekitar 40 tahun. Meskipun demikian, dia juga belajar nahwu dari para pakar nahwu Bashrah. Abu Musa wafat pada malam Kamis tanggal 7 Dzul Hijjah tahun 305 H, dan dimakamkan di Baghdad. Karya-karya peninggalan Abu Musa antara lain yaitu: kitab Khalqu’l-Insan, kitab A’s-Sabaq wa An-Nidhal, kitab An-Nabat, kitab Al-wuhusy dan kitab Mukhtashar fi An-Nahwi.
2) Ibnu Syaqir
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ahmad bin Al-Hasan bin Al‘Abbas bin Al-Faraj bin Syaqir. Seperti halnya Ibnu Kisan, Ibnu Syaqir juga belajar ilmu nahwu dari para pakar nahwu Kuffah dan Bashrah. Sehingga dia memadukan dua aliran yang berbeda ini. Dia wafat pada bulan Shafar tahun 317 H. Karya peninggalannya antara lain yaitu kitab Mukhtashar fi An-nahwi, kitab Al-Maqshur wa Al-Mamdud, dan juga kitab Al-Mudzakkar wa al-Muannats.
3) Ibnu Al-Khayyath
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Manshur bin Al Khayyath. Dia memadukan aliran nahwu Kuffah dengan aliran nahwu Bashrah sebagaimana Ibnu Kisan dan Ibnu Syaqir. Ibnu Al-Khayyath wafat pada tahun 320 H di Bashrah. Karya-karya peninggalannnya di bidang ilmu nahwu antara lain yaitu kitab An-Nahwu Al-Kabir, kitab Al-Mujaz.
4) Nuftuwaih
Nama lengkapnya yaitu Abu ‘Abdullah Ibrahim bin Muhammad bin ‘Arafah bin Sulaiman bin Al-Mughirah bin Habib bin Al-Muhallab bin Abi Shafrah Al-‘Itky Al-Azda Al-Wustho. Lahir sekitar pertengahan tahun 240 H, dan bertempat tinggal di Baghdad. Dia bersaudara dengan Khalid bin ‘Abdullah Al-Muzany. Dia juga termasuk salah satu tokoh yang memadukan aliran Kuffah dan Bashrah, namun dia menolak pendapat yang mengatakan adanya proses etimologi dalam kalam Arab. Nuftuwaih wafat pada hari Rabu tanggal 12 Shafar tahun 323 H di Baghdad, dan dimakamkan pada hari Kamis. Karya-karya peninggalan Nuftuwaih antara lain yaitu kitab At-Tarikh, kitab Al-Iqtisharat, Kitab Gharib Al-Qur’an, kitab Al-Itstitsna’.
5) Ibnu Al-Anbary
Nama lengkapnya yaitu Abu Bakar Muhammad bin Abi Muhammad Al-Qasim bin Basyar bin Al-Hasan bin Bayan Ibnu Sama’ah Ibnu Farwah bin Quthn bin Da’amah Al-Anbary. Lahir pada hari Ahad tanggal 11 Rajab tahun 271 H dan wafat sebelum berusia 50 tahun, yaitu sekitar tahun 328 H di Baghdad, dan dimakamkan di dekat makan ayahnya. Ibnu Al-Anbary adalah seorang ilmuwan yang berbudi pekerti luhur dan sekaligus memiliki hafalan yang kuat. Di bidang ilmu nahwu, dia banyak belajar dari para pakar nahwu Kuffah. Karya-karya peninggalannya sangat banyak baik di bidang ilmu nahwu, kebahasaan, sastra maupun di bidang ilmu hadits. Misalnya saja di bidang ilmu nahwu dia menulis kitab Al-Maqshur wa Al-Mamdud, di bidang kebahasaan dia menulis kitab Al-Alqab, di bidang sastra dia menulis kitab (meski belum selesai)dan kitab Gharib Al-Hadits (juga belum selesai) di bidang ilmu hadits.
6) Al-Akhfasy Al-Ashghar
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Hasan Ali bin Sulaiman bin Al-Fadhl. Dia termasuk salah seorang pakar nahwu yang terkenal yang mempelajari ilmu nahwu dari berbagai pakar nahwu sebelumnya. Dan untuk itu dia banyak melakukan perjalanan meninggalkan Baghdad. Setelah dia kembali ke Bahgdad, dia mulai jatuh dalam kemiskinan hingga pada akhirnya wafat secara mendadak pada tanggal 7 bulan Dzul Qa’dah tahun 315 H dan dimakamkan di pemakaman Qantharah Baradan. Karya peninggalannya yang terkenal antara lain yaitu Sarh kitab Sibawaih, Tafsir Risalah kitab Sibawaih, kitab At-Tatsniyah wa Al-Jam’u, kitab Al-Madzhab fi An-Nahwi, kitab Al-Jarrad dan kitab Al-Anwa’.[22]
b. Pakar Nahwu Kotemporer Madzhab Baghdad
1) Ibnu Khalawaih
Nama lengkapnya Abu Abdullah al-Husain ibn Khawaliah. Dia dilahirkan di Hamdan, kemudian pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu (314 H). Dia belajar Al Qur'an dari Ibnu Mujahid, nahwu dan sastra dari Ibnu Duraid, Nafthawaih, Abu Bakar ibn Anbari, dan Abi Amar az-Zahid; belajar hadits dari Muhammad ibn Mukhalid al-Attar. beliau bermadzhab Syafii. Karyanya Kitab Al-jamal (nahwu), Istiqaq, Itraghnu fil-Lughoh, al-Qira’at, I'rab 30 surat Al Qur'an, al-Maqsur wal-Mamdud, al-Faat, Mudzakkar wa mu’anats, Syarh Maqsurah Ibnu Duraid, Kitab Laisa, al-Badi' fil-Qira’at Sab'i, Kitab Asad, Kitab Mubtada, dan Kitab Tadzkirah. Puisinya:
فلا خير فيمن فسه صدر الجالس اذا لم يكن صدر المجالس
“Apabila tidak ada di sebuah majlis sosok seorang ulama, maka tidak ada kebaikan bagi orang yang datang ke majlis tersebut”.
Beliau wafat di kota Halab pada tahun 370 H.
2) Abu Ali al-Farisy
Nama lengkapnya Abu Ali al-Hasan bin Abdul Ghafar bin Muhammad bin Sulaiman bin Abaan. Dia dilahirkan di Fasapada tahun 288 H. Dia pergi ke Baghdad pada tahun 307 H, belajar nahwu dan Zujaj, Mubraman, Akhfas, dan Nafthawaih; belajar linguistik[23] dari Ibnu Duraid, belajar qiroat dari Bakr Ibnu Mujahid. Dia merupakan pengikut Mu'tazilah dan ada juga yang mengatakan dia merupakan pengikut Syiah. Karyanya Kitab Tafsir tentang يا ايها الذين امنوا اذا قنتم الى الصلاةKitab Hujjah fil-Qira’at (kitab ini berisi tentang hujjah beliau bahwa setiap qiroah didukung oleh linguistik dan puisi), Kitab at-Tatabbu' li Kalam Abi Ali al-Jabai (ilmu kalam), Kitab al-Ighfal (yang dilupakan az-Zujaji dalam ma'aniihi) Kitab Naqdul-Nadhur, Syarh Abyat ‘an I'rab (idhoh siir), Mukhtashar ‘Awamil i‘rab. Puisinya:
(خضيت الشيب لما كان عينا خضب والشيب اولى ان يعاب )
“Aku mengecat ubanku karena terasa ada aibnya, karena mengecat uban lebih baik dari pada mendatangkan aib”.
Ali al-Farisi meniggal di Baghdad pada hari tanggal 17 Rabiul Awal tahun 377 H, umurnya 92 tahun. Dimakamkan di Sunaiza.
3) Ibnu Jinni
Nama lengkapnya Abu al-Fath Utsman bin Jinni, dilahirkan di Mosul sebelum tahun 330 H (ada yang mengatakan dia dilahirkan pada 320 H). Beliau berguru kepada Ibnu Muqsam, Abu al-Faraj al-Asfihani, Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad dikenal dengan Imam Akhfas dan Abu Sahl al-Qattam. Dalam syarah kitab Al Mutanabbi dia berkata:"Ada seseorang yang bertanya kepada Abu Thayyib al-Mutanabbi tentang bait puisi: او لم تصبر باد هواك صبرت.Bagaimana huruf alif masih tetap pada kata تصبرا padahal ada لم jazm, mestinya diucapkan dengan لم تصبر Mutanabbi menjawab: seandainya ada Abu al-Fatah disini, pasti beliau menjawab: alif pada تصبرا merupakan badal dari nun taukid khafifah. Asalnya: لم تصبرن nun taukid khafifah[24] disini jika waqof diganti dengan alif. Karyanya dalam ilmu nahwu: Kitab Ta'aqub fil-‘Arabiyah, Kitab Mu‘rab, Kitab Alfadz min Mahmuz, Kitab Mudzakar wa mu’anats, Kitab Khasha’is, Kitab Sirr Sina‘atul I'rab, kitab Idzal-Qadd (kumpulan kuliah Abu Ali al-Farisi) Kitab Mahasinil-‘Arabiyah, Kitab Tadzkirah al-Ashibaniyah, Kitab Tabshirah.Dalam ilmu sharf : Kitab Jumal Ushulut-Tasrif, Kitab Mushannif (Syarh Tasriful-Mazni), Kitab Tasriful-Muluki. Dalam Ilmu 'Arud: Kitab ‘Arudh wal-Qawafi, Kitab Kaafi (Syarh Kitab Qawafi lil-Akhfasy). Dalam ilmu sastra dan puisi: Kitab Syi‘ir (Syarh Diwan al-Mutanabbi), Kitab Ma'ani Abyat Mutanabbi dll. Puisinya Beliau mempunyai teman tetapi temannya menceritakan aibnya, kemudian beliau membalasnya dengan melantunkan puisi :
صدودك عنى ولا ذنب لى يدل على نية فا سدة
“Penentanganmu kepadaku menujukkan niat yang merusak tidak ada dosa bagiku”.
Beliau meninggal di Baghdad pada hari Jum'at bulan Shofar tahun 392H, dimakamkan di Suniza disamping makam gurunya Abu Ali al-Farisi, disitu juga menjadi makamnya Syaih Junaid seorang tokoh tasawuf.
4) Az-Zamakhsyari
Nama lengkapnya Jadullah Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad. Dia dilahirkan di Zamakhsyar (sebuah kampung kecil di kawasan Khawarizm) hari Rabu tanggal 27 Rajab 467 H. Sejak kecil telah diajak ayahnya ke Khawarizm (sebuah daerah yang terletak di selatan sungai Jihan, timur laut daerah Khurasan, ditaklukkan oleh Qutaibah bin Muslim tahun 86 H). Khawarizm terbentuk dari dua kata yaitu (Khawar) mempunyai arti matahari, yang ditanam, yang dimakan, dan Zem yang mempunyai arti tanah. Dengan demikian bermakna : tanah matahari, tanah pertanian dan tanah kesuburan. Beliau banyak belajar kepada para ulama di antaranya Mahmud bin Jarir adh-Dhabbi al-Asfihani (Abu Madhor), Abu Ali ad-Darir, Abu Sa’ad al-Baihaqi, dan lain-lainnya. Beliau pernah menikah tetapi bercerai tanpa mempunyai anak dan diungkapkan dalam Pendapatnya dalam puisinya:
تزوجت لم اعلم ولم اخطاءت ولم اصب فياليتنى قدمتقبل التزوج
Aku telah menikah, saya tidak tahu, aku telah berbuat salah aku tidak pernah berbuat kebenaran, maka seandainya aku mati sebelum menikah.
فو الله ما ابكى على ساكن الترى ولكننى وابكى على المتزوج
Maka demi Allah tidaklah aku menangis karena kekayaan akan tetapi aku menangis karena telah menikah.
Karyanya: Tafsir al-Kassaf, Kitab al-Faiq fi Gharibil-Hadits, Kitab Ru’usul-Masa’il fil-Fiqh, al-Minhaj fil-Ushul, kitab Dhalatun-Nasid fi ‘ilmil-Faraidh, dalam ilmu nahwu: Kitab al-Mufsil fin-Nahwi, Ammudhuz, Syarh ba’dhi Muksilat, Syarh Abyat Kitab Sibawaih, dan Shamim ‘Arabiyah, dalam ilmu arudh: Kitab al-Qisthas fil-‘Arudh, dalam ilmu sastra : Muqaddimah Adab, A’jabal-‘Ajab fi Syarhi lamiyah al-‘Arab, Rabi‘ul-Abrar, al-Waqud Dahab, Nawabighul-Kalim. Tafsir al-Kassaf[25] merupakan karya monumentalnya, sehingga beliau memuji dalam puisi:
ان فى التفاسير الدنيا بلا عدد وليس منها العمري مثل كشافى
“Sesungguhnya kitab tafsir di dunia sangat banyak jumlahnya, seumur hidupku tidak ada yang sepadan dan tafsir al kassaf adalah obatnya”.
Beliau meninggal di Jarjaniyah[26] di malam hari Arofah (9 Dzulhijjah) 538 H, setelah kembali dari Mekkah.
5. Produk Nahwu Bagdad
Produk Nahwu Bagdad yang sangat monumental adalah Alfiah Ibnu Malik yang terdiri dari 1002 nadhoman yang ditulis oleh Syeh Jamaludin Muahammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusi.[27] Adapun beberapa contoh kajian permasalahan antara nahwu Baghdad dan yang lainnya adalah sebagai berikut:
a. Permasalahan dalam mengkira-kirakan khobarnya masdar[28] (Metode Ijma’)
“ضربي زيدا قائما”
Dalam permasalahan ini terdapat tanggapan dari beberapa Madzhab Nahwu, diantaranya sebagai berikut:
1) Madzhab Kufah menjelasakan, sesungguhnya lafad “قائما" pada contoh diatas sebagai حال dari ma’mul masdar secara lafad dan makna yaitu lafad زيد. Adapun amilnya adalah masdar (ضربي) yang sekaligus menjadi mubtada’. Dan Khobarnya mubtada’ jatuh setelah حال yang wajib dikira-kirakan. Berikut jumlah yang dikira-kirakan ضربي زيدا قائما حاصل"”.
2) Madzhab Basroh sesungguhnya lafad “قائما" pada contoh diatas sebagai حال dari ma’mul masdar secara makna saja dan tidak makna. Adapun amil dalam hal dibuang, dan dikira-kirakan sebagai berikut: ضربي زيدا حاصل إذا كان قائما"”. Adapun lafad حاصل khobar dari lafad ضربي, adapun dhorof إذا ganti dari khobar yang terbuang (حاصل), karena itu adalah ta’aluqnya dhorof إذا kemudian dhorof dan syaratnya dibuang, dan hal diletakkan di tempatnya dhorof, karena حال memiliki makna dhorfiyah. Maka katakanlah: ضربي زيدا قائما"”
3) Dari imam Akhfasy, yang termasuk dari golongan ulama’ Bagdad kotemporer, menyatakan sesungguhnya khobar dari contoh lafad diatas itu menempati tempatnya حال yang berupa masdar musdhof pada shobil hal. Adapun yang dikira-kirakan sebagai berikut: ضربي زيدا ضربه قائما, kemudian Imam Ibnu Malik menguatkan dengan adanya sedikit lafad yang dibuang, hal ini diambil dari pemikiran ulama’ Basroh juga.
b. Diperbolehkan mentaukidi isim nakiroh dengan lafad كل و أخوتها. (Metode Sima’i)[29]
Ada beberapa pendapat dari beberapa aliran Nahwu terhadap masalah berikut:
1) Madzhab Basroh mencegah adanya mentaukidi isim nakiroh secara mutlak dengan dalil sebagai berikut: Sesungguhnya isim nakiroh itu menunjukkan makna umum, sedangkan taukid itu menunjukkan kekhususan dari pada suatu perkara. Oleh sebab itu mentaukidi lafad yang tidak diketahui kejelasannya adalah suatu hal yang tidak ada gunanya. Dengan demikian sesuai dengan hokum taukid, apabila taukid dan lafad yang ditaukidi (muakid) tidak sesuai hal itu tidak diperbolehkan baik dari isim nakiroh ataupun isim ma’rifat.
2) Madzhab Kufah dan Akhfasy, memperboleh mentaukidi isim nakiroh yang dibatasi dengan lafad-lafad taukid yang menunjukkan makna umum, yaitu كل dan saudaranya. Isim nakirah yang dibatasi ini ditujukan agar ada batasan, ukuran yang umum dalam isim nakiroh seperti lafad يوم, ليلة, شهر, dan سنة. Contoh: نمت ليلة كلها.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Madrasah bagdad muncul, dilator belakangi oleh bebagai aspek, diantaranya adalah wujud rasa sadar akan adanya perdebatan terus-menerus diantara madzhab Basroh dan Kufah dalam kajian keilmuan Nahwu. Dalam pendirian aliran Bagdad ini dipelopori oleh pakar-pakar kufah yang juga mempelari kajian keilmuan nahwu ala Basroh. Mereka adalah sebagai berikut: Abu Hanîfah Ahmad bin Dâwud al-Dinawari, Abu al-Thayyib Mihammad bin Ahmad bin Ishâq al-A’rabi al-Wasyâ’, Ibnu Kaisân Muhammad bin Ahmad bin Ibrâhim bin Kaisân, al-Akhfash al-Shagîr, Ali bin Sulaiman bin al-Fadhl al-Nahwiyyi. dari beberapa intelektual tersebut, Ibnu Kaisan hadir sebagai ketua dari pada madrasah baghdad yang pertama kalinya.
b. Dalam menggalai al-adilah an-nahwiyah, Mazhab Baghdad cenderung mengkombinasikan cara yang digunakan oleh mazhab Kufah yakni sima’i dan juga berdasarakn madzhab Basroh dengan metode qiyasi. Tetapi ini hanya berlangsung pada ulama’ Baghdad yang awal-awal saja. Di masa ulama’ Bagdad kotemporer, para pakar tidak mengkombinasikan dua metode Kufah dan Basroh, melainkan mereka memilih condong pada satu mazhab saja, seperti halnya Abu Ali Al-farizi dan murinyda Ibnu Jinni.
c. Salah satu produk nahwu yang dihasilkan oleh ulama’ Baghdad adalah nadhom Alfiyah Ibnu Malik. Selain itu juga seperti halnya contoh beberapa permasalahan nahwu yang sudah tertera pada bahasana sebelunya.
2. Komentar
Pembelajaran nahwu di Bagdad dapat dikatakan sebagai pembelajaran yang sudah kondusif, karena mereka dapat memadukan antara mazhab Basrah dan Kuffah, mereka formulasikan ke dalam suatu aliran yang disebut aliran Baghdad,di mana kaidah-kaidah yang mereka gunakan adalah kaidah dari kedua mazhab tersebut, walaupun sebagian yang lain adalah hasil dari ijtihad dan istimbat mereka sendiri. Dan pada pernyataan diatas disebutkan bahwa pada masa-masa awal munculnya aliran Baghdad, yaitu sekitar abad ke-3 H, perkembangan ilmu nahwu di Baghdad lebih didominasi oleh pengaruh dari Kuffah dari pada pengaruh dari Bashrah. Hal ini tidak lepas dari campur tangan kekuasaan khalifah-khalifah Bani Abbas. Namun pada akhirnya mereka berhasil mendapatkan posisi di Baghdad karena mereka memiliki perangai yang baik. Bukti yang lain adalah banyaknya tokoh-tokoh yang terkenal yang berkecipung di dalamnya.
Daftar Pustaka
Al-Gulaiyini, Musthofa. 2011. Jami’ud Durus al-Arobiyah. Libanon: Dar Al-Khotob al-Ilmiyah.
Dhaif, Syauqi. 1119. Al-Madâris Al-Nahwiyyah. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Jurnal ulul al-bab.
Muhib Abdul Wahab. 2009. Pemikiran Linguistik Tamam Hasan. Jakarta: UIN Press.
Mukrim, Abd al’Al Salim. al-Qur’an al-Karim Wa Atsaruhu Fi al-Dirasah al-Nahwiyyah.
Tamim Mulloh. 2014. Al-Basith fi Ushulin Nahwi wa Madarisihi. Malang: Graha Al-Farabi
Munawir dkk. 2007. Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia. Yokyakarta: Pustaka Progresif.
Ghodhban, Khidir. Al-Darsu Nahwi fi Baghdad. Universitas Babil.
Sulaiman, Mahmud. 2006. Al-Iqtiorh fi Ushulin Nahwi Jalaludin As-Suyuti. Mesir: Dar al-Ma’rifat.
http://id.wikipedia.org/wiki/Bagdad diakses 06/05/2013
http://forumstudinahwu.blogspot.com/ Pukul 20.00, 06/05/2013
[1] Tamim Mulloh. Al-Basith fi Ushulin Nahwi wa Madarisihi. (Malang: Graha Al-Farabi, 2014) hal.1
[2] I’rob adalah perubahan suatu akhir kalimat secara lafad atau dikira-kirakan karena amil yang masuk. (Matan al-Jurumiyah. Syeikh Al-Jurumi)
[3] Jurnal ulul al-bab. 2011
[4] Muhib Abdul Wahab. Pemikiran Linguistik Tamam Hasan. (Jakarta: UIN Press, 2009). Hal 117
[5] Op.Cit. Al-Basith fi Ushulin Nahwi. Hal 87.
[6] Op.Cit. Jurnal Ulul Albab. Hal 26.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Bagdad diakses 06/05/2013
[8] Abd al’Al Salim Mukrim, al-Qur’an al-Karim Wa Atsaruhu Fi al-Dirasah al-Nahwiyyah, p. 137.
[9] Op.Cit., Al-Basith Fi Ushulin Nahwi., 128
[10] Madrasah yang dimaksud adalah madrasah An-nahwiyah.
[11] Syauqi Dhaif. al-Madâris al-Nahwiyyah. (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1119). Hal. 266-267.
[12] Ibid., Hal 245.,
[13] Ibid., Hal 246.
[14] Op.cit., Al-basith fi ulumin Nahwi. Hal. 132.
[15] Op.cit., Al-basith fi ulumin Nahwi. Hal. 132.
[16] Op.cit., Al-basith fi ulumin Nahwi. Hal. 132.
[17] Kamus Al-Munawir.
[18] Op.cit., Al-basith fi ulumin Nahwi. Hal. 133.
[19] Mutardif adalah
[20] Munawir dkk. Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia. (Yokyakarta: Pustaka Progresif, 2007). Hal I397.
[21] Op.cit. Al-basith fi ulumin Nahwi. Hal. 140.
[22] http://forumstudinahwu.blogspot.com/ Pukul 20.00, 06/05/2013
[23] Menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah ilmu tentang tata bahasa atau telaah bahasa secara ilmiyah.
[24] Nun yang berfungsi sebagai penguat yang dibaca ringan
[25] yaitu kitab tafsir yang penafsiranya cenderung pada kebalaghan,dan beliau adalah seorang tokoh dari mu’tazilah.
[26] yaitu terletak di pinggir sungai jihan,ibukotanya khawarizm.
[27] Mahmud Sulaiman. Al-Iqtiorh fi Ushulin Nahwi Jalaludin As-Suyuti. (Mesir: Dar al-Ma’rifat, 2006) Hal 440.
[28] Op.Cit. Al-Bastih fi Ulumin Nahwi. Hal 53.
[29] Op.Cit. Al-Basith fi Ulumin Nahwi. Hal. 33
Tags:
Makalah
0 komentar