Intuisionisme Sebagai Sumber Pengetahuan: Kajian Historis Pemikiran Henry Bergson

Sumber epistemologi dalam prespektif barat diklasifikasikan menjadi tiga yakni rasionalisme, empirisme, dan Intuisionisme. Dua bagian pertama mungkin sudah sangat akrab di telinga kita, karena keduanya menjadi induk dari berkembanganya beberapa pemikiran setelahnya, termasuk di dalamnya intuisionisme dan juga kritisisme.
Dalam kesempatan ini saya akan membahas satu bagian saja dalam aliran filsafat, yakni intuisionisme. Mungkin kita akan bertanya-tanya pada mulanya. Jika rasionalisme bersumber dari logika dan empirisme dari pengalaman indrawi lalu apakah sumber intuisionisme? Hal itu jugalah yang menjadi bahasan penting dalam point ini. Namun sebelum menyelami kajian intuisionisme, sebaiknya kita mengenal tokoh yang mempopulerkannya terlebih dahulu. 
Intuisionisme diperkenalkan Henry Bergson (Henri-Louis Bergson). Ia adalah seorang filsuf berwargakebangsaan Perancis yang dilahirkan pada 18 Oktober 1859 dan meningal di usia yang ke-81 tepatnya pada 4 Januari 1941. Dalam catatn wikipedia, disebutkan bahwa ia adalah seorang yang pemikirannya mulai bergeser menuju regiusitas sebelum kematiannya. Dibuktikan dengaan tergabungnya ia dengan Gereja Katolik Roma. Persemaian pemikiran Bergson ini banyak dipengaruhi oleh Kierkegaard (teolog dan Bapak filsafat eksistensialisme 18), Spinoza (Yudaisme subtansi tunggal Allah dan Alam 16), Kant, James, Ravaisson, Spancer, Schelling, Maine de Biran.
Secara epistemologi pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang diperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai objek lahir melainkan mengenai kebenaran dan hakikat suatu objek. Dalam tradisi Islam, para sufi menyebutkkanya sebagai rasa yang mendalam berkaitan dengan presepsi batin. Dengan demikian intuisi semacam pengetahuan yang dikaruniakan Tuhan kepada seseorang dan pada kalbunya sehingga tersingkaplah sebagian rahasia dan tampak olehnya realitas (Muslih, 2004: 21-22).
Menurut Henry Bergson, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Namun dalam intuisi ini tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi. Harold H. Titus memberikan caratan bahwa intuisi adalah suatu jenis pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indra. Intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan langsung yang mengatasi pengetahuan kita yang diperoleh dari indra dan akal (Muslih, 2004: 21-22).
Radhakrisnan memahami intusi sebagai perpanjangan persepsi pada daerah-daerah diluar batas jangkuan panca indra. Pengetahuan intuistif tidak berdasarkan dan tidak berasal dari pengalaman, sehingga menangkap realitas noumental yang diluar realitas fenomenal intuistif dibutuhkan (Heatubun, 2007: 87).
Henry Bergson membagi pengetahuan menjadi dua macam yakni pengetahuan mengenai (knowladge about) dan pengetahuan tentang (kenowladge of). Pengetahuan pertama disebut dengan pengetahuan diskursif, simbolis atau pengetahuan intelektif dan pengetahuan kedua disebuat dengan pengetahuan langsung atau pengetahuan intuistif. Ilmu diskursif diperoleh melalui simbol-simbol yang mencoba menyatakan kepada kita mengenai sesuatu dengan jalan terjemahan bagi sesuatu itu (Kattsoff, 1987).
Sebaliknya pengetahuan intuitif adalah merupakan pengetahuan yang nisbi ataupun lewat perantara. Ia mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang pada dasarnya bersifat analitis dan memberikan pengetahuan tentang obyek secara keseluruhan. Maka dari itu menurut Bergson, intuisi adalah sesuatu sarana untuk mengetahui  secara langsung dan seketika. 
Biasanya pengetahuan intuistif yang itu bersifat individualis dan karenanya sulit dikomunikasikan (solipsis). Karya seni adalah proto type-nya. Seni itu merupakan bentuk intusisi dalam bentuk tertentu. Kualitas baik dan buruk itu tergantung dengan kualitasnya intuisinya (Heatubun, 2007:86). 
Selain Bergson yang mendukung adanya pengetahuan dengan intuisisme, Bradley dan Croce juga menyepakatinya. Mereka sepakat bahwasanya intelek itu membuat realitas kehidupan menjadi kaku dan memborgolnya dalam konsep-konsep. Berbeda dengan intuisi yang dan imajinasi yang “membikin hidup lebih hidup”.
Intuisi dan imajinasi memang sangat dekat. Disini pula saya ingin menyampaikan beberapa perbedaanya. Intuisi itu dapat diartikan juga sebagai indra, namun tidak ada dalam struktur tubuh kita. Jika kita gradisakn, mungkin intuisi dapat disebut dengan indra keenam. Indra yang lebih tinggi dibanding dengan indra yang lainya. Letak perbedaan utamanya adalah dalam fokus kesadaran. Imajinasi lebih pada emosional, hasrat, passion, dan ketertarikan yang bersifat indrawi. Sedangkan intuisi bersifat spiritual. Intuisi berperan justru ketika tubuh bersih dari emosi, hasrat, dan nafsu.
Mungkin ini sedikit yang bisa diuraikan tenang intuisionisme. Dalam penjabaran di atas tentu pembaca akan memiliki kesimpulan tersendiri terkait dengan apa itu sesungguhnya intuisionisme.

Selamat membaca

Daftar Bacaan
Heatubu, Fabianus. Romantisme dan Intuisionisme. Universitas Katolik Parahyangan Bandung: M Lintas 23.1.2007
Muslih, Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Imu Pengetahuan. Yogyakarta: Blukar
Kattsoff, Louisi O. 1987. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana
Nessa, M. Natsir dkk. 2014. Buku Ajar Filsafat Ilmu. Program Studi S2 Ilmu Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanudin

Detail Intuisionisme dan perbedaanya dengan aliran fisafat yang lain
Epistemologi
Tokoh
Landasan Berfikir
Pengertian
Kelebihan
Kekurangan
Intuisionisme
Henry Bergson (1859-1941 M)
(Luitzen Egbertus Jan Brouwer (1881-1966)
Arend Heyting (1898-1980)
Sir Michael Anthony Eardly Dummentt (1925)
Aliran ini mendasarkan terhadap intuisi manusia sebagai sumber pengetahuan yang paling lengkap.
Secara bahasa berasal dari kata intuitio dalam bahasa latin artinya pemandangan. Dalam bahasa inggris intuition artinya gerak hati
Intuisionisme dapat menerima pengetahuan yang bersumber pada intuisi. Karena memang intuisi diluar jangkauan logika dan indra manusia. sifatnya seperti ilham.
Sarana untuk mengetahui secara langsung
Pengetahuan yang bersumber secara intiuitif lebih bersifat individual, sulit dikomunikasikan (solipsis)
Rasionalisme
Plato (427-347 SM)
Descartes (1596-1650 M)
Leibniz (1646-1716 M)




Empirisme
F. Bacon (1561-1626 ),
John Locke (1632-1704 ,
David Hume (1711-1776)










Share:

0 komentar