JOGJA: Kiblat Perkembangan Komunitas Epistemik?

Jogja merupakan salah satu kota bersejarah di Indonesia. Kota yang telah menjadi bukti adanya perjuangan merebut kemerdekaan di Indonesia. Jogja bukanlah wilayah yang luas, seperti halnya kota dan provinsi lain di Jawa, melainkan bagian kecil dari pulau jawa. Namun, persitiwa sejarah dan jasa yang telah diberikan untuk merebutkan kemerdekaan Idnonesia bisa terbilang sangat besar.
Sebagai wilayah yang menjadi prasasti sejarah, Jogja memiliki banyak tokoh pahlawan yang dikenal oleh warga Indonesia, diantaranya KH. Dewantara. Sosok tokoh yang sangat gigih dalam memperjuangkan pendidikan Indonesia melalui komunitas Taman Siswa (National Onderwijs Institut Taman Siswa). Jasanya yang begitu besar dalam memperjuangkan Taman Siswa, telah menjadikan ia dinobaatkan sebagai Bapak Pendidikan di Indonesia. Bapak pendidikan Indonesia yang sangat kita terkenal salah satu semboyannya di telinga kita semua “Tut Wuri Handayani”.
Jasa besar KH. Dewantara ternyata tidak terhenti pasca wafatnya beliau tanggl 26 April 1956. Terbentuknya Taman Siswa (03/07/1922), telah menjadi tonggak pertama berdirinya kegiatan-kegiatan pendidikan di Indonesia. Taman Siswa hadir sebagai simbol perjuangan melawan kebodohan dan penindasan terhadap penjajah. Kala itu, Taman siswa mampu memiliki 129 cabang sekolah di berbagai kota di seluruh Indonesia. Itulah yang menjadi harta Indonesia yang besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jogja telah menjadi saksi besar berkembangnya pendidikan di Indonesia secara institusional. Keberadaan kampus Islam yang sekarang tersebar di seluruh wilayah nusantara dahulu tunasnya dari Jogja. Kampus Islam yang perdana itu hadir dan diresmikan oleh Moh. Hatta 20 April 1948 dengan nama STI (Sekolah Tinggi Islam). Setelah sekian lama Indonesia merdeka, kampus Islam mengalami banyak perubahan dan perkembangan. Hingga kini banyak telah menjadi universitas dan sebagian masih institut. 
Predikat Jogja sebagai kota pendidikan, sangatlah tepat. Pertimbangan pertama, Jogja telah menjadi tunas awal perkembangnya pendidikan di Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka. Jogja yang sangat terkenal dengan kondisinya yang lekat dengan budaya jawa ternyata tidak menutup diri untuk kemajuan pembangunan di bidang pendidikan dari masa-masa. Terbukti dari jumlah kampus dan yang selalu bertmabah di Jogja. Pertimbangan kedua, kondisi Jogja yang sekarang ini memang sangatlah diminati oleh banyak calon mahasiswa atau bahkan mahasiswa pasca sarjana. Menurut data yang kami dapatkan dari Dinas Pendidikan Yogyakarta, jumlah mahasiswa Jogja sekarang lebih dari 264.653 yang belajar di 123 perguruan Tinggi Swasta (PTS). Ditambah lagi dengan puluhan ribu mahasiswa yang berada di Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Beberapa hal tersebut dapat dikatakan sebagai warisan dari adanya gerakan KH. Dewantara sebagai bapak pendidikan di Indonesia yang berpusat di Jogja. Perkembangan disisi lain juga banyak ditemukan dan sudah menjadi hal wajar, karena pendidikannya juga sangatlah maju. Di dukung dengan adanya banyak kampus dan mahasiswa dari berbagai daerah, akhirnya banyak memunculkan komunitas-komunitas tertentu. Ada kalanya komunitas itu didasarkan atas tempat tinggal asal mereka, ada juga komunitas terbentuk atas kesamaan studi yang ditempuh, dan ada pula yang komunitas yang terbntuk karena memiliki kesatuan visi dan misi yang sama seperti komunitas pergerakan.
Perkembangan komunitas-komunitas di Jogja ternyata sangatlah pesat mulai dari masa orde lama hingga orde baru. Komunitas yang awa mulanya terbentuk atas ikatan tertentu dan wadah silaturrahim, berubah menjadi medan diskusi dan ladang intelektual serta dan gerakan mengkritik kebijakan publik.  komunitas kecil yang mulai tidak puas dengan pola pemerintahan Republik. Berangkat dari meja-meja diskusi, mereka saling bersatu untuk menyamakan presepsi untuk menyelesaikan masalah Republik yang kian rumit. Bahkan, tidak jarang komunitas-komunitas tertentu bersatu melakukan demosntrasi untuk menyuarakan gagasan mereka.
Terlahirnya sebuah pergerakan melalui komunitas-komunitas intelektual memang tidak dapat dihindarkan. Karena keadaan Republik yang runyam saat itu membuat mereka tidak nyaman dalam belajar sehari-hari. Komunitas-komunitas kecil semakin gencer menyuarakan ide dan gagasanya dipubik melalui landasan idologinya masing-masing. Seolah-olah semua ingin berperan untuk perbaikan Republik yang lebih mapan.
Keberadaaan komunitas kecil memang sangatlah diakui. Semua berkat usaha dan keuletan mereka dalam memperjuangkan gagasan mereka. Bahkan tidak jarang oknum pemerintah melumpuhkan gerakan tersebut dengan menculik aktor-aktor utama dalam komunitas tersebut. Berbagai kenyataan itu tidak dapat terbendung, dan menyebar hampir kesuluruh nusantara mengetahui kiprah gerakan mahasiswa di Jogja. Gerakan mereka seakan menjadi tauladan dalam membangun negeri dan memotivasi kaum-kaum pelajar yang belum tersadarkan.
Semangat intelektual yang begitu besar dan minimnya fasilitas tak membuat komunitas itu surut. Selain komunitas-komunitas berdiskusi dan asah intelektual, Jogja juga banyak melahirkan komunitas sastrawan dan budayawan. Melalui komunitas itu mereka berkreasi, berkarya dan menggunakannya sebagai sarana untuk menyuarakan ide gagasan mereka tentang perbaikan Republik. Sungguh hal yang luar biasa, kesadaran intelektual dan sebagai penyandang gelar agent of change dan angent of social control yang luar biasa. Puncak dari segala gerakan komunitas itu adalah ketika tragedi 98. Tragedi yang telah berhasil merubuhkan rezim otoriter yang berkuasa lama di Republik ini.
Berbicara tentang pergerakan komunitas di Jogja, pasti tidak akan ada habisnya hingga sekarang ini. Tetapi yang saya maksud disini dengan komunitas epitemik, tidak jauh dengan apa yang ada di Jogja. Komunitas epistemik adalah sebuah komunitas yang memiliki kesadaran tinggi akan asupan intelektual, peduli terhadap realitas serta terus aktif memproduksi sebuah wacana.
Model-model komunitas espitemik di Jogja ini sekarang dapat kita temukan langsung dengan berbagai model. Ada yang sudah menjadi sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan terus aktif berkiprah langsung dalam menangani permasalahan masyarakat. Salah satu LSM yang saya kenal akrab di Jogja adalah SMI (Social Movement Institute). Sebuah LSM yang telah berdiri sejak tahun 2013 dan telah mampu menyatukan berbagai gerakan mahasiswa di Jogja. Ada juga yang mendirikan penerbitan, sebagai wadah untuk mempublikasikan ide dan gagasan mereka, salah satu contohnya adalah LKiS. Penerbit di Jogja yang sangat terkenal dengan kajian kritis keislamannya. Dulu ini juga LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) ini berawal dari sebuah komunitas diskusi yang ada di IAIN Sunan Kalijaga beberapa tahun yang lalu. Dan memang, sebagian besar penerbitan yang ada di Jogja, berawal dari sebuah komunitas-komunitas diskusi kecil yang selalu berkembang.
Dengan banyaknya LSM dan penerbitan yang muncul di Jogja, telah memberikan warna baru di Kota Pendidikan ini. lengkap sudah kekayaan yang ada di Jogja ini. Perkembangan dunia pendidikanya begitu pesat, didukung dengan banyaknya LSM yang dapat terus menyadarkan mahasiswa akan kepedulian terhadap lingkungannya serta didukung oleh banyak penerbitan untuk menerbitkan wacana yang mereka bentuk. 
Beberapa hal demikian inilah yang telah menjadikan mahasiswa di luar Jogja merasa iri. Kebudayaan intelektual yang terbentuk sampai saat it uterus di dengar oleh mereka yang berada di luar Jogja. Sehingga tidak jarang, Jogja menjadi tempat tujuan banyak calon mahasiswa atau mahasiswa pasca sarjana dalam meneruskan studinya. Dan hal ini, memang sudah sesuai dengan yang diharapkan oleh Direktorat Pendidikan Yogyakarta dengan visinya “center of excellent”.

Tags:

Share:

0 komentar