REKAYASA SOSIAL, MEDIA PEMBENTUKAN NALAR
Perubahan adalah sebuah fenomena yang sangat lazim pada kehidupan manusia umumnya. Perubahan dapat berupa ideolodi, sikap hidup, gaya hidup. Seorang manusia yang tidak mengalami perubahan, perlu dipertanyakan dinamika sosial hidupnya. Bahkan jikahal ini ditemukan, dapat dijadikan sebuah teori baru bahwasanya hidup itu tidak selalu berubah. Hal ini akan memetahkan sebuah teori yang berdiri awal, bahwasanya perubahan adalah hal lazim dalam kehidupan manusia.
Memahami sebuah perubahan bukanlah proses hal yang mudah. analisis khusus dibutuhkan di dalamnya. Karena dalam suatu perubahan itu terdapat faktor pendukung, baik internal maupun eksternal. Tetapi pada dasarnya itu semua bukan suatu hal yang direncakan. Jadi suatu arah perubahan sosial yang wajar itu tidak dapat dipastikan arahnya.
Perbuahan tidak hanya terjadi di lingkup manusia secara individu, melainkan terjadi pula pada kehidupan manusia yang mengarah pada kelompok sosial. Hal yang dimaksud, sesungguhnya adalah perubahan itu terjadi dalam sebuah kelompok-kelompok sosial yang dibentuk manusia (baca; organisasi). Salah satu contohnya, adalah sistem tata kenegaran dan perpolitikan negera kita Indonesia yang selalu berbuah di setiap priode.
Memperjelas makna perubahan, saya meminjam definisi yang digunakan oleh sosiolog terkenal Emile Dhurkheim. Dhurkheim mengartikan perubahan sebagai sesuatu yang terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik. Jelas sudah dalam pemaparan Dhurkheim terkait perubahan. Dhurkeim juga menuturkan faktor pembentuk perubahan itu dalam pengertiannya.
Guna menambah wawasan seputar akademis, saya mencoba aplikasikan teori perubahan ini untuk meninjau sebuah instansi besar yakni lingkungan sosial akademis yang ada dikalangan Kampus Maliki Malang. Sifat perubahan sosial yang arahnya tidak dapat diprediksi, menjadikan daya tarik tersendiri bagi saya untuk menyampaikan beberapa pandangan sementara terhadap beberapa fenomena perubahan kampus lazim adanya. Pandangn ini memang tidak didasarakn pada sebuah data dan bukti rill terturlis dan terdokumentasi,tetapi dari beberapapengamatan sementara.
Budaya akademis adalah budaya yang lazim ada pada kampus. karena pada dasaranya basic pengembanagn di dalamnya berupa pengembangan pengetahuan. Tetapi bagaimana kita mengartikan budaya akademis itu, karena budaya akademis disetiap instansi itu berbeda. Untuk menjawab hal itu, kita perlu sedikit merujuk pada suku kata akhir dari kata majmuk budaya akademis. Perlu kita pahami, akademis adalah bersifat ilmiah, bersifat pengetahuan. Jadi budaya akademis dapat kita artikan sebagai bentuk budaya ilmiah, seperti membaca buku, berdiskusi, meneliti, seminar, simposium dan lain-lain.
Jika suatu kegiatan ilmiah dan bersifat pengembangan pengetahun, mulai hilang dari kampus, layakkah dinamika kehidupan kampus dikatakan sebagai budaya akademis. Pertanyaan ini tentu akan memunculkan banyak jawaban dengan berbagai sudut pandangan yang berbeda.
Gejolak globalisasi memang berdampak besar dan menjadi salah satu aktor perubahan sosial dalam sepanjangan sejarah hidup manusia. Hal ini memang sudah tidak diragukan lagi, dampaknya tidak hanya merabah dilingkup masyarakat biasa, masyarakat akademis pun demikian. Karena beberapa budaya dari masyarakat akademis mulai beralih, dan bukan pada arah positif mayoritasnya.
Kejadian inilah yang kemudian memunculkan kepekaan sosial di sebuah unit kegiatan yang bergerak dalam bidang akademis. Unit kegiatan tersebut bernama Lembaga Kajian, Penelitian, dan Pengembangan Mahasiswa (LKP2M). sebuah unit kegiatan yang berupaya mempertahan budaya akademis dan mengkolaborasikannya dengan modernitas zaman. Hal ini memang sudah selazimnya untuk dijalankan oleh LKP2M.
Upaya mendukung revitalisasi budaya akademis, LKP2M terus menerus menggelar kajian publik dalam berbagai bidang. Bahkan tak jarang, mendatangkan seorang ahli untuk mengulas beberapa tema hangat yang sedang hit. Berbagai kegiatan mendukung lainya terus digelar tetapi tetap dengan esensi dan tujuan yang sama.
Rekasaya Sosial sebagai Media
Hakaket suatu perubahan yang dinamis dalam kehidupan, mengharuskan adanya sebuah Rekaya Sosial. Rekayasa sosial adalah sebuah manipulasi ilmiah yang didesain dengan sedemikian rupa untuk menentukan suatu arah perubahan dalam kehidupan sosial. Kehadiran rekayasa sosial dalam membetuk suatu perubahan positif, memang sangatlah diharapkan.
Rekayasa sosial adalah salah satu setrategi yang diterapkan LKP2M untuk membentuk budaya akademik yang telah mulai luntur di kampus Maliki Malang. Rekaya ini diterapkan dalam sebuah program penerimaan anggota (PRA) baru. Design yang disajikan pun, disesuaikan dengan tema yang diusung pada kegiatan tersebut “Kontekstualisasi Nalar Kritis Mahasiswa, Memebentuk Kesalahan Sosial Melalui Karya”.
Berdasarkan tema yang diusung, rekayasa sosial yang kali ini diterapkan lebih menekankan pada sebuah proses dan dibuktikan dengan hasil. Dalam kegiatan ini,untuk mencapai tujuan tersebut didukung dengan berbagai eleman elemen penting di dalamnya, diantaranya adalah pendampingan yang intensfi serta penugasan yang akademis.
“Kontekstualisasi Nalar Krtitis Mahasiswa” adalah frase awal dari tema yang diusung. Frase tersebut dapat dikatakan sebagai frase dasar pijakan bagi frese sesudahnya. frese tersebut, berdasarkan beberapa fenomena akademik yang sudah tidak lazim adanya, sehingga menjadi topik seksi untuk diperbincangan dan dibenahi.
Nalar Kritis, menjadi kata utama dalam frese awal. Titik penekanan memang sengaja diletakkan atasnya, guna membangun perubahan presepsi atas kata tersebut. Nalar kritis yang dimaksudkan di dalamnya adalah pola pemikiran yang dibangun dengan landasan rasio yang bertanggung jawab dan dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga nalar kritis itu berada pada posisi yang tepat dan dapt dijadikan promotor perubahan sosial.
Kata “Nalar Kritis” sengaja disematkan kata mahasiswa dalam teks tersebut. Karena mahasiswa memiliki peran besar dalam suatu perubahan di negara kita Indonesia. Sifat kritis yang diharapakan darinya, tentu sikap kritis yang positif dan dapat membawa perubahan general ke-indonesiaan ini. nalar kritis yang betul-betul dilandasi rasio yang matang.
Dengan demikian, satu frase awal dari tema yang diusung oleh LKP2M dalam melakukan rekayasa sosial dapat diartikan sebagai gerakan yang rill dari sebuh proses pemikiran positif seorang mahasiswa, yang dapat menimbulkan perubuhan-perubahan yang positif. Sehingga apa yang ada dalam benak mahasiswa tidak hanya sebuah teori, tetapi mereka lebih ditekankan untuk dapat merealisasikan gagasan nalar kritis tersebut.
Frase kedua yakni “Membentuk Kesalehan Sosial Melalui Karya”. Frase kedua ini, menjadi arah tujuan dari penerapan nalar kritis mahasiswa yang diharapkan dalam rekayasa sosial ini. puncak tujuannya adalah sebuah kesalehan sosial. Kesalehan sosial dapat kita pahami sebagai tindak dakwah kita untuk menginspirasi individu, golongan, kelompok tertentu bahkan beberapa kelompok, menuju perubahan positif baik dalam hal sosial keagamaan, sosial kemanusiaa, dan sosial kenegaraan. Karya yang disebutkan dalam frase tersebut, menjadi sebuah medium dakwah tersendiri bagi kalangan akademisi. Bagaimana mereka menularkan gagasan-gagasan akademis dalam wujud sebuh karya yang berupa buku dan lain sebagainya.
Lengkap sudah rekayasa sosial yang telah di desain oleh LKP2M selaku penggeraka akademis dalam sebuah instansi kampus. penempatan dasar, telah dilakukan dengan memosisikan nalar kritis seorang yang identik dengan perubahan. Karya menjadi perantara penghubung antara nalar kritis untuk mencapai kesalehan sosial. Dan capaian yang diharapkan dalam sebuah rekaya sosial ini adalah kesalehan sosial. Kesalehan sosial dari masing-masing individu mahasiswa yang tergabung di dalamnya.
Proses ini, membutuhkan pengawalan ketat dengan berbagai sistem pemaksaan akademis pun dilakukan. Sehingga masing-masing anggota diharapakan merasa tertekan dan mau menjalankan segala tugas yang diembankan kepadanya. Peran demikian dimainkan oleh tim yang bergerak khusus dalam penugasan. Selain sistem pemaksaan akademis, ada juga proses pendinginan. Proses yang harus dilakukan setelah beberapa peserta mengalami kenaikan tingkat kesetresannya. Peran kedua ini dimainkan oleh pendamping.
Proses rekayasa sosial sengaja didesain sedemikian rupa, dengan berbagai hal yang diharapkan, diantaranya membangun budaya akademis mulai dari lingkup terkecil, untuk menyiapkan SDM yang tepat dan kridibel di bidangnya. Jauh kedepan, hal ini sangat diharapakan dapat membentuk kesalehan sosial mahasiswa ketika berada dalam kehidupan bermasyarakat di tempat tinggalnya masing-masing.
Strategi Rekayasa Sosial Budaya Akademik
Rekaya sosial bukanlah proses yang sangat gampang untuk dijalankan. Perlu pematangan konsep dan sinergitas beberapa pihak yang membangun. Karena pada dasarnya reksos adalah tujuan kelompok dan harus dilakukan oleh kelompok. Selain itu kerjasama, bahu-membahu dibutuhkan di dalamnya.
Untuk menghasilkan capaian yang diinginkan dalam sebuah rekayasa sosial, kita harus menerapkan beberapa setrategi jitu. Setrategi itulah nanti yang seolah-olah akan menjadikan rekayasa itu menjadi hal yang nyata. Beberapa setrategi dalam rekaya sosial yang perlu kita pahami. Karena kita harus menyesuaikan anatara setrategi yang kita gunakan dan kondisi lapangan. Sehingga keduanya benar-benar koheren. Adapun beberapa setrategi yang dapat kita guanakan dalam rekayasa sosial adalah, Normative Reedukcative (notmatif-reedukatif), dan Persuasif.
Normatif reedukatif merupakan setrategi membelajarkan ulang norma-norma sosial yang telah lama pudar. Jika dikaitkan dalam konteks permasalahan budaya akademis, maka normatif reedukatfi ini merupakan setrategi membelajarkan ulang norma-norma akademik di kalangan mahasiswa. Setrategi ini diterapakan dalam suatu kondisi sosial yang telah mulai meninggalkan norma-norma dasar. Diharapakan konstruksi rekayasa sosial demikian ini dapat kembali memvitalkan norma-normanya.
Persuasif merupakan salah satu setrategi rekaysas sosial dengan melalui pendekatan-pendekatan dan pembujukkan. Setretaegi ini dibangun dengan memunculkan gagasan pada masyarakat sosial dan menuliskannya dalam media sehingga memunculkan propaganda. Propaganda inilah yang kemudian dimaiankan ditaraf rekasaya sosial. Setrategi persuasif ini digunakan pada suatu lingkup yang sangat luas, sehingga pertemuan dan konsolidasi masa tidak bisa terakomodir secara masif seperti halnya strategi normatif reduaktif.
Mengembalikan budaya akademik yang semakin pudar tidaklah mudah. proses itu, membutuhkan integrasi dua setrategi yang telah disebutkan tadi. Setrategi normatif reedukatif dan persuasif yang digabungkan akan menjadikan rekaya sosial melalui media langsung dan media tidak langsung. Sehingga proses perubahan-perubahan yang diinginkan dapat dicontrol melalui propaganda media, serta pendidikan langsung.
Memahami sebuah perubahan bukanlah proses hal yang mudah. analisis khusus dibutuhkan di dalamnya. Karena dalam suatu perubahan itu terdapat faktor pendukung, baik internal maupun eksternal. Tetapi pada dasarnya itu semua bukan suatu hal yang direncakan. Jadi suatu arah perubahan sosial yang wajar itu tidak dapat dipastikan arahnya.
Perbuahan tidak hanya terjadi di lingkup manusia secara individu, melainkan terjadi pula pada kehidupan manusia yang mengarah pada kelompok sosial. Hal yang dimaksud, sesungguhnya adalah perubahan itu terjadi dalam sebuah kelompok-kelompok sosial yang dibentuk manusia (baca; organisasi). Salah satu contohnya, adalah sistem tata kenegaran dan perpolitikan negera kita Indonesia yang selalu berbuah di setiap priode.
Memperjelas makna perubahan, saya meminjam definisi yang digunakan oleh sosiolog terkenal Emile Dhurkheim. Dhurkheim mengartikan perubahan sebagai sesuatu yang terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik. Jelas sudah dalam pemaparan Dhurkheim terkait perubahan. Dhurkeim juga menuturkan faktor pembentuk perubahan itu dalam pengertiannya.
Guna menambah wawasan seputar akademis, saya mencoba aplikasikan teori perubahan ini untuk meninjau sebuah instansi besar yakni lingkungan sosial akademis yang ada dikalangan Kampus Maliki Malang. Sifat perubahan sosial yang arahnya tidak dapat diprediksi, menjadikan daya tarik tersendiri bagi saya untuk menyampaikan beberapa pandangan sementara terhadap beberapa fenomena perubahan kampus lazim adanya. Pandangn ini memang tidak didasarakn pada sebuah data dan bukti rill terturlis dan terdokumentasi,tetapi dari beberapapengamatan sementara.
Budaya akademis adalah budaya yang lazim ada pada kampus. karena pada dasaranya basic pengembanagn di dalamnya berupa pengembangan pengetahuan. Tetapi bagaimana kita mengartikan budaya akademis itu, karena budaya akademis disetiap instansi itu berbeda. Untuk menjawab hal itu, kita perlu sedikit merujuk pada suku kata akhir dari kata majmuk budaya akademis. Perlu kita pahami, akademis adalah bersifat ilmiah, bersifat pengetahuan. Jadi budaya akademis dapat kita artikan sebagai bentuk budaya ilmiah, seperti membaca buku, berdiskusi, meneliti, seminar, simposium dan lain-lain.
Jika suatu kegiatan ilmiah dan bersifat pengembangan pengetahun, mulai hilang dari kampus, layakkah dinamika kehidupan kampus dikatakan sebagai budaya akademis. Pertanyaan ini tentu akan memunculkan banyak jawaban dengan berbagai sudut pandangan yang berbeda.
Gejolak globalisasi memang berdampak besar dan menjadi salah satu aktor perubahan sosial dalam sepanjangan sejarah hidup manusia. Hal ini memang sudah tidak diragukan lagi, dampaknya tidak hanya merabah dilingkup masyarakat biasa, masyarakat akademis pun demikian. Karena beberapa budaya dari masyarakat akademis mulai beralih, dan bukan pada arah positif mayoritasnya.
Kejadian inilah yang kemudian memunculkan kepekaan sosial di sebuah unit kegiatan yang bergerak dalam bidang akademis. Unit kegiatan tersebut bernama Lembaga Kajian, Penelitian, dan Pengembangan Mahasiswa (LKP2M). sebuah unit kegiatan yang berupaya mempertahan budaya akademis dan mengkolaborasikannya dengan modernitas zaman. Hal ini memang sudah selazimnya untuk dijalankan oleh LKP2M.
Upaya mendukung revitalisasi budaya akademis, LKP2M terus menerus menggelar kajian publik dalam berbagai bidang. Bahkan tak jarang, mendatangkan seorang ahli untuk mengulas beberapa tema hangat yang sedang hit. Berbagai kegiatan mendukung lainya terus digelar tetapi tetap dengan esensi dan tujuan yang sama.
Rekasaya Sosial sebagai Media
Hakaket suatu perubahan yang dinamis dalam kehidupan, mengharuskan adanya sebuah Rekaya Sosial. Rekayasa sosial adalah sebuah manipulasi ilmiah yang didesain dengan sedemikian rupa untuk menentukan suatu arah perubahan dalam kehidupan sosial. Kehadiran rekayasa sosial dalam membetuk suatu perubahan positif, memang sangatlah diharapkan.
Rekayasa sosial adalah salah satu setrategi yang diterapkan LKP2M untuk membentuk budaya akademik yang telah mulai luntur di kampus Maliki Malang. Rekaya ini diterapkan dalam sebuah program penerimaan anggota (PRA) baru. Design yang disajikan pun, disesuaikan dengan tema yang diusung pada kegiatan tersebut “Kontekstualisasi Nalar Kritis Mahasiswa, Memebentuk Kesalahan Sosial Melalui Karya”.
Berdasarkan tema yang diusung, rekayasa sosial yang kali ini diterapkan lebih menekankan pada sebuah proses dan dibuktikan dengan hasil. Dalam kegiatan ini,untuk mencapai tujuan tersebut didukung dengan berbagai eleman elemen penting di dalamnya, diantaranya adalah pendampingan yang intensfi serta penugasan yang akademis.
“Kontekstualisasi Nalar Krtitis Mahasiswa” adalah frase awal dari tema yang diusung. Frase tersebut dapat dikatakan sebagai frase dasar pijakan bagi frese sesudahnya. frese tersebut, berdasarkan beberapa fenomena akademik yang sudah tidak lazim adanya, sehingga menjadi topik seksi untuk diperbincangan dan dibenahi.
Nalar Kritis, menjadi kata utama dalam frese awal. Titik penekanan memang sengaja diletakkan atasnya, guna membangun perubahan presepsi atas kata tersebut. Nalar kritis yang dimaksudkan di dalamnya adalah pola pemikiran yang dibangun dengan landasan rasio yang bertanggung jawab dan dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga nalar kritis itu berada pada posisi yang tepat dan dapt dijadikan promotor perubahan sosial.
Kata “Nalar Kritis” sengaja disematkan kata mahasiswa dalam teks tersebut. Karena mahasiswa memiliki peran besar dalam suatu perubahan di negara kita Indonesia. Sifat kritis yang diharapakan darinya, tentu sikap kritis yang positif dan dapat membawa perubahan general ke-indonesiaan ini. nalar kritis yang betul-betul dilandasi rasio yang matang.
Dengan demikian, satu frase awal dari tema yang diusung oleh LKP2M dalam melakukan rekayasa sosial dapat diartikan sebagai gerakan yang rill dari sebuh proses pemikiran positif seorang mahasiswa, yang dapat menimbulkan perubuhan-perubahan yang positif. Sehingga apa yang ada dalam benak mahasiswa tidak hanya sebuah teori, tetapi mereka lebih ditekankan untuk dapat merealisasikan gagasan nalar kritis tersebut.
Frase kedua yakni “Membentuk Kesalehan Sosial Melalui Karya”. Frase kedua ini, menjadi arah tujuan dari penerapan nalar kritis mahasiswa yang diharapkan dalam rekayasa sosial ini. puncak tujuannya adalah sebuah kesalehan sosial. Kesalehan sosial dapat kita pahami sebagai tindak dakwah kita untuk menginspirasi individu, golongan, kelompok tertentu bahkan beberapa kelompok, menuju perubahan positif baik dalam hal sosial keagamaan, sosial kemanusiaa, dan sosial kenegaraan. Karya yang disebutkan dalam frase tersebut, menjadi sebuah medium dakwah tersendiri bagi kalangan akademisi. Bagaimana mereka menularkan gagasan-gagasan akademis dalam wujud sebuh karya yang berupa buku dan lain sebagainya.
Lengkap sudah rekayasa sosial yang telah di desain oleh LKP2M selaku penggeraka akademis dalam sebuah instansi kampus. penempatan dasar, telah dilakukan dengan memosisikan nalar kritis seorang yang identik dengan perubahan. Karya menjadi perantara penghubung antara nalar kritis untuk mencapai kesalehan sosial. Dan capaian yang diharapkan dalam sebuah rekaya sosial ini adalah kesalehan sosial. Kesalehan sosial dari masing-masing individu mahasiswa yang tergabung di dalamnya.
Proses ini, membutuhkan pengawalan ketat dengan berbagai sistem pemaksaan akademis pun dilakukan. Sehingga masing-masing anggota diharapakan merasa tertekan dan mau menjalankan segala tugas yang diembankan kepadanya. Peran demikian dimainkan oleh tim yang bergerak khusus dalam penugasan. Selain sistem pemaksaan akademis, ada juga proses pendinginan. Proses yang harus dilakukan setelah beberapa peserta mengalami kenaikan tingkat kesetresannya. Peran kedua ini dimainkan oleh pendamping.
Proses rekayasa sosial sengaja didesain sedemikian rupa, dengan berbagai hal yang diharapkan, diantaranya membangun budaya akademis mulai dari lingkup terkecil, untuk menyiapkan SDM yang tepat dan kridibel di bidangnya. Jauh kedepan, hal ini sangat diharapakan dapat membentuk kesalehan sosial mahasiswa ketika berada dalam kehidupan bermasyarakat di tempat tinggalnya masing-masing.
Strategi Rekayasa Sosial Budaya Akademik
Rekaya sosial bukanlah proses yang sangat gampang untuk dijalankan. Perlu pematangan konsep dan sinergitas beberapa pihak yang membangun. Karena pada dasarnya reksos adalah tujuan kelompok dan harus dilakukan oleh kelompok. Selain itu kerjasama, bahu-membahu dibutuhkan di dalamnya.
Untuk menghasilkan capaian yang diinginkan dalam sebuah rekayasa sosial, kita harus menerapkan beberapa setrategi jitu. Setrategi itulah nanti yang seolah-olah akan menjadikan rekayasa itu menjadi hal yang nyata. Beberapa setrategi dalam rekaya sosial yang perlu kita pahami. Karena kita harus menyesuaikan anatara setrategi yang kita gunakan dan kondisi lapangan. Sehingga keduanya benar-benar koheren. Adapun beberapa setrategi yang dapat kita guanakan dalam rekayasa sosial adalah, Normative Reedukcative (notmatif-reedukatif), dan Persuasif.
Normatif reedukatif merupakan setrategi membelajarkan ulang norma-norma sosial yang telah lama pudar. Jika dikaitkan dalam konteks permasalahan budaya akademis, maka normatif reedukatfi ini merupakan setrategi membelajarkan ulang norma-norma akademik di kalangan mahasiswa. Setrategi ini diterapakan dalam suatu kondisi sosial yang telah mulai meninggalkan norma-norma dasar. Diharapakan konstruksi rekayasa sosial demikian ini dapat kembali memvitalkan norma-normanya.
Persuasif merupakan salah satu setrategi rekaysas sosial dengan melalui pendekatan-pendekatan dan pembujukkan. Setretaegi ini dibangun dengan memunculkan gagasan pada masyarakat sosial dan menuliskannya dalam media sehingga memunculkan propaganda. Propaganda inilah yang kemudian dimaiankan ditaraf rekasaya sosial. Setrategi persuasif ini digunakan pada suatu lingkup yang sangat luas, sehingga pertemuan dan konsolidasi masa tidak bisa terakomodir secara masif seperti halnya strategi normatif reduaktif.
Mengembalikan budaya akademik yang semakin pudar tidaklah mudah. proses itu, membutuhkan integrasi dua setrategi yang telah disebutkan tadi. Setrategi normatif reedukatif dan persuasif yang digabungkan akan menjadikan rekaya sosial melalui media langsung dan media tidak langsung. Sehingga proses perubahan-perubahan yang diinginkan dapat dicontrol melalui propaganda media, serta pendidikan langsung.
Tags:
Essay
0 komentar