MEMBEDAKAN RUANG KAJIAN SEMANTIK DAN PRAGMATIK
PENDAHULUAN
Semantik dan pragmatik merupakan dua istilah baru yang muncul dalam kajian linguistik modern. Dua disiplin keilmuan tersebut memiliki ranah kajian yang hampir sama, yakni kajian tentang tanda. Hanya saja, secara garis besar letak perbedaannya pada penggunaan tanda tersebut. dua istilah tersebut merupakan komponen dari kajian tentang tanda atau yang biasa disebut kajian ilmu semiotika. Baik semiotika dalam prespektif Saussurian ataupun Peirce.
Semantik dan Pragmatik bukanlah istilah yang serta merta muncul tanpa sebab dan dalam waktu bersamaan. Kajian ilmu semantik, muncul dilatar belakangi oleh luasnya kajian semiotika, demikian juga pragmatik. Semantik adalah istilah yang muncul melalui organisasi Filologi Amerika (American fhilological Association) tahun 1894 yang judulnya “Reflected Meaning a Point in Semantics. Coseriu dan Gackeler mengatakan bahwa istilah semantik yang sekarang terkenal itu telah dipernakan oleh sarjana Prancis M. Breal (1883). Tetapi sebagai subdisiplin keilmuan lingusitik, semantik secara resmi muncul pada abad ke-19. Pada tahun 1825 pakar kelasik dalam linguistik C. Reisig mengemukakan tata bahasa yang menurutnya dibagi menjadi tiga bagian, yakni: etimologi, sintaksis, dan semasiologi. Semasioligi inilah studi tentang makna dan berpadanan dengan kata semantik (Pateda 2010: 5).
Kajian Semantik difungsikan sebagai disiplin ilmu yang melakukan studi pendalaman apa yang dimaksud dengan istilah makna. Dengan semantik dapat diketahui apa yang dimaksud dengan makna, bagaimanakah wujud makna, apakah jenis-jenis makna, apa saja yang nerhubungan dengan makna, apakah komponen makna, apakah makna dapat berubah, serta penyebab perubahan makna. Semua hal terkait dengan makna inilah yang menjadi ruang kajian dari semantik.
Seperti halnya kajian Semantik, pragmatik memiliki fungsi yang berbeda pula. Yule menjelaskan bahwasnya kajian pragmatik dapat difungsikan untuk mengkaji makna pembicara, menkaji makna menurut konteksnya, menjkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara dan pragmatik dapat difungsikan untuk mengkaji ekpresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu (Yule, 1998: 4). Jelas keduanya memiliki fokus kerja masing-masing.
Dua subdisiplin ilmu yang mengkaji tentang tanda ini, jika tidak benar-benar dipahami akan menjadi sulit untuk membedakan ranah kajianya. Keduanya seoalah-oleh berada dalam jalur dan pembahasan yang hampir sama. Oleh sebab itu, pada kesempata ini penulis akan mengulas kembali ranah kajian dari masing-masing subdisiplin ilmu tersbut dengan tujuan tidak terjadi ketimpangan dalam pemahaman, khususnya dalam kalangan mahasiswa pengkaji bahasa (mahasiswa lingusitik).
PEMBAHASAN
A. Semantik
Semantik berasalh dari bahasa yunani, mengandung makna to signify atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”. Dengan anggapan bahwa makna adalah bagian tersebsar dari bahasa, maka semantik dijadikan subdisiplin ilmu lingusitik (Aminudin 2011:15). Lehrer berpendapat bahwasanya kajian semantik sangat luas karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat dan antropologi. Vehraar mengatakan bahwa semantik berarti teori tentang makna atau teori tentang arti. Definisi lain disampaikan oleh Samuel dan Keifer semantik adaah kajian ilmu yang membahasa makna yang tersirat dalam sebuah kata ataupun kalimat yaang dikontekskan dengan dunia nyata.
Dari beberapa definisi tersebut sesungguhnya terlihat beberapa perbedaan dalam ruang lingkup semiotik. Tetapi dari beberapa definisi yang telah ada, penulis menggunakan definisi yang disampaikan oleh Samuel dan Keifer, yakni semantik adalah disiplin ilmu yang mengkaji makna yang tersirat dalam kalimat atau makna kata.
Kata dalam kajian semantik merupakan satuan utama. Perhatikan contoh berikut ini “Munir dan Iqbal adalah mahasiswa uin malang yang menjadi pengurus eksekutiv fakultas hmanuiora”. Ini adalah bentuk kalimat dan merupakan kumpulan dari beberapa kata. kata seperti “mahasiswa, pengurus dl” mempunyai makna leksikal, sebab maknanya dapat dilihat dalam kamus tetapi jika kata “dan, yang” tidak memiliki makna artinya lebih bebas dan tidak terikat makna sesuai dengan kata yang alam disandingi. Dari contoh diatas dapat diketahui bahwasanya semantik memiliki objek kata dan kalimat.
Dalam perekembangannya, semantik yang mengkaji tentang makna kata disebut kajian semantik leksikal. Dan semantik yang mengkaji mengenai makna dalam struktur kalimat adalah semantik gramatikal. Tetapi ruang lingkupnya tidak terbatas disitu saja, Petada menjelaskan ada beberapa pembagian kajian semantik, yakni: semantik behaviorisme, semantik deskriptifsemantik generatif, semanti gramatikal, semanti historis. semantik leksikal, semantik logika, dan semantik struktural.
B. Pragmatik
Pragmatik merupakan subdisiplin ilmu dari kajian lingusitik. Pragmatik salah satu komponen dalam kajian semiotika, seperti yang telah diungkapkan oleh Charles Morris. Secara definitif, arti dari pragmatik dalam kajian linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari tentang hubungan tanda dan penggunannya. Diantara komponen kajian semiotik, pragmatik adalah satu-satunya subdisiplin ilmu yang melibatkan orang ke dalam objek kajian.
Memahami apa itu pragmatik, mungkin kita bisa merujuk pada pint-poit yang diberikan oleh seorang pakar Yule. Ia menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu (1996: 3).
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
Dari beberapa definisi pragmatik yang telah diungkapkan oleh beberapa pakar, dapat diambil kesimpulan bahwa pragmatik adalah salah satu disiplin ilmu dalam linguistik yang mengkaji hubungan antara tanda dan penggunanya. Penjalasan ini kemudian diperluas oleh Thomas. Hubungannya dengan pengguna dibagi menjadi dua sudut pandang, sudut pandang sosial yakni hubungan tanda dengan pembicara, dan sudut pandang kognitif, mengubungkan tanda dengan interpretasi.
C. Perbedaan Semantik dan Pragmatik studi lingusitik makna
Semantik dan pragmatik adalah dua cabang utama dari studi linguistik makna. Keduanya diberi nama dalam judul buku itu dan mereka akan diperkenalkan di sini. Semantik adalah studi dari untuk arti: pengetahuan akan dikodekan dalam kosakata bahasa dan pola untuk membangun makna lebih rumit, sampai ke tingkat makna kalimat. Adapun pragmatik berkaitan dengan penggunaan alat-alat ini dalam komunikasi yang bermakna. Pragmatik adalah tentang interaksi pengetahuan semantik dengan pengetahuan kita tentang dunia, mempertimbangkan konteks yang digunakan. Secara konvensional, perbedaan antara semantik dan pragmatik dinilai berdasarkan tiga hal (Bach, dalam Turner 1999:70):
1) Lingusitic meaning vs. Use
Linguistics meaning atau makna linguistik (bahasa) dibedakan dengan use atau pemakaiannya. Secara sepintas, semantik dan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang sama-sama menelaah makna-makna satuan lingual. Perbedaannya, semantik mempelajari makna linguistik atau makna bersifat internal, sedangan pragmatik mempelajari makna penutur atau makna dalam penutur dan bersifat eksternal yang berhubungan dengan konteks. Dengan kata lain, semantik mempelajari arti harfiah dari sebuah, ide sedangkan pragmatik adalah makna tersirat dari ide yang diberikan.
Bila diamati lebih jauh, makna yang menjadi kajian dalam semantik adalah makna linguistik (linguistics meaning) atau makna semantik (semantic sense), sedangkan yang dikaji oleh pragmatik adalah maksud penutur (speaker meaning atau speaker sense) (verhaar, 1977; Parker, 1986:32).
Semantik adalah telaah makna kalimat (sentence), sedangkan pragmatik adalah telaah makna tuturan (utterance). Semantik adalah ilmu linguistik yang mempelajari makna yang terkandung di dalam morfem, kata, frasa, dan kalimat yang bebas konteks. Makna linguistik di sini adalah makna yang terdapat di dalam bahasa, yang distrukturkan di dalam dan oleh sistem bahasa, yang dipahami lebih kurang sama oleh para penutur dalam kegiatan berkomunikasi secara umum dan wajar (Subroto, 1999:111). Dalam pragmatik maksud penutur (speaker meaning atau speaker sense) yaitu bahwa sense berhubungan erat dengan suatu system yang kompleks dari elemen linguistik, yaitu kata-kata. Sense menitikberatkan pada makna kalimat dan hubungannya dengan makna kata (Palmer, 1981:9). Dapat dikatakan bahwa maksud penutur di sini tidak terlepas dari konteks kalimat, apa yang dimaksud penutur belum tentu sama dengan yang dimaksud oleh lawan tutur.
Dalam pragmatik jika dalam pemakaiannya terjadi kesalahan pemakaian tatabahasa yang disengaja oleh penutur, maka dikatakan bahwa terdapat maksim(-maksim) tindak tutur yang dilanggar. Sementara itu, semantik tidak menganalisis bahasa dari sisi pemakaiannya sehingga jika terjadi kesalahan penutur yang disengaja, semantik tidak dapat menentukan meaning sesungguhnya dari penutur tersebut karena hanya didasarkan atas meaning secara umum.
Contoh:
Dalam kalimat berikut, B menjawab pertanyaan A dengan setidaknya tiga kemungkinan cara untuk menyatakan “belum” atau “tidak ingin makan”.
A : siang ini kamu sudah makan?
B (1) : saya belum makan. Tapi saya tidak ingin makan.
A (2) : saya sudah makan barusan. (berbohong)
B (2) : saya masih kenyang, kok.
Untuk mengatakan maksudnya, B setidaknya dapat mengutarakan dengan tiga tuturan: B(1) secara langsung menyatakan maksud dan alasannya; B(2) dengan berbohong, secara tidak langsung ia menyatakan tidak ingin makan; B(3) demi alasan kesopanan, dan secara tidak langsung juga, mengimplikasikan ia tidak ingin makan. Untuk menjawab pertanyaan A, meskipun juga tidak dapat menjelaskan dengan sangat tepat, semantik hanya dapat menganalisis meaning dengan jelas pada kalimat B(1) karena kalimat tersebut secara langsung menjawab pertanyaan A, namun semantik tidak dapat menjelaskan secara tepat meaning dari B(2) dan B(3) karena B menjawabnya secara tidak langsung sehingga memerlukan pemahaman terhadap situasi disekitarnya.
2) Truth-conditional vs. Non-truth-conditional meaning
Cruse (2006:136) memuat perbedaan-perbedaan antara semantik dan pragmatik. Semantik berhubungan dengan aspek-aspek truth conditional makna, yaitu jika sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis, misalnya ‘kucing menyapu halaman’ adalah yang tidak berterima secara semantik karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika.
Blackmore mengutarakan tentang truth conditional semantics, yaitu apabila kita melihat suatu frasa/kalimat/satuan bahasa yang dapat diverivikasi kebenarannya, satuan bahasa berhubungan dengan aspek-aspek makna yang bebas konteks, misalnya kata “I’m sorry” sulit untuk menemukan verifikasi apakah orang yang menyatakan frasa tersebut benar-benar minta maaf atau tidak.
Semantik berhubungan dengan aspek-aspek makna konvensional, yakni bahwa terdapat hubungan yang tetap antara makna dan bentuk serta semantik berhubungan dengan deskripsi makna sehingga dikatakan bahwa semantik mengambil pendekatan formal dengan memfokuskan bentuk fonem, morfem, kata, frasa, klausa dan kalimat. Sementara itu, pragmatik berhubungan dengan aspek-aspek non-truth conditional makna, berhubungan dengan aspek-aspek yang memperhitungkan konteks, berhubungan dengan aspek-aspek makna yang tidak looked up, tetapi worked out pada peristiwa penggunaan tertentu dan pragmatik berhubungan dengan penggunaan-penggunaan makna tersebut, oleh karena itu pragmatik dikatakan mengambil pendekatan fungsional.
3) Context independent vs. Context dependence
Yang dimaksud dengan makna secara internal adalah makna yang bebas konteks (independent context); maksudnya, makna tersebut dapat diartikan tanpa adanya suatu konteks atau makna yang terdapat dalam kamus, sedangkan makna yang dikaji secara eksternal, yaitu makna yang terikat konteks (context dependent) maksudnya satuan-satuan bahasa dalam suatu tuturan tersebut dapat dijelaskan apabila ada suatu konteks, yaitu konteks siapa yang berbicara, kepada siapa orang itu berbicara, bagaimana keadaan si pembicara, kapan, dimana, dan apa tujuanya sehingga maksud si pembicara dapat dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya. Tanpa memahami konteks, lawan tutur bahasa akan kesulitan memahami maksud penutur. Konteks di sini meliputi tuturan sebelumnya, penutur dalam peristiwa tutur, hubungan antar penutur, pengetahuan, tujuan, setting social dan fisik peristiwa tutur (Cruse, 2006:136).
Contoh :
a. Prestasi kerjanya yang bagus membuat ia dapat diangkat untuk masa jabatan yang kedua
b. Presiden itu sedang menuruni tangga pesawat
Dalam contoh di atas kata bagus dan presiden mempunyai makna semantik atau makna secara internal, sedangkan secara eksternal, bila dilihat dari penggunaanya kata bagus tidak selalu bermakna ‘baik’ atau ‘tidak buruk’. Begitu juga presiden tidak selalu bermakna ‘kepala negara’ seperti dalam contoh:
c. Ayah : Bagaimana nilai ujianmu?
Budi : Iya, hanya dapat 50, pak.
Ayah : Bagus, besok jangan belajar.
d. Awas, presidennya datang!
Kata bagus dalam (3) tidak bermakna ‘baik’ atau tidak buruk’, tetapi sebaliknya. Sementara itu, bila kalimat (4) digunakan untuk menyindir, kata presiden tidak bermakna ‘kepala negara’, tetapi bermakna seseorang yang secara ironis pantas mendapatkan sebutan itu. Sehubungan dengan keterikatan itu tidak hanya bagus dalam dialog (3) bermakna ‘buruk’, melainkan besok jangan belajar dan nonton terus saja juga bermakna ‘besok rajin-rajinlah belajar’ dan ‘hentikan hobi menontonmu’. Berlawanan dengan banyak formulasi yang telah muncul sejak awal
perumusan Morris pada tahun 1938, perbedaan semantik-pragmatik tidak tidak sesuai antara satu perumusan dengan perumusan lainnya(Bach dalam Turner, 1999: 73).
Menurut Bach, perumusan perbedaan semantik-pragmatik dapat mengambil perbedaan dengan mengacu pada fakta-fakta bahwa:
hanya isi literal yang relevan secara semantis
beberapa ekspresi sensitif dalam hal konteks terhadap makna
konteks yang dekat cukup relevan dengan semantik, namun untuk konteks luas lebih dekat ke pragmatik
non-truth-conditional (kebenaran-tak-bersyarat) menggunakan informasi terkait agar bahasa dapat dikodekan
aturan dalam menggunakan ekspresi tidak menentukan penggunaannya secara aktual
kalimat yang diucapkan sebenarnya adalah fakta pragmatis
Kesimpulan
1. Semantik dan Pragmatik merupakan kompoenen kajian disiplin ilmu semiotika atau studi tentang tanda. Semantik memiliki bagian mengkaji hubungan tanda dengan maknanya serta pragmatik mengkaji tanda dan penggunannya. Tanda tetap menjadi bagian utama dari kajian ini.
4) Letak perbedaan antara semantik dan pragmatik, sebagaimana telah disampaikan dalam pembahasan diatas yakni: Lingusitic meaning vs. Use, Truth-conditional vs. Non-truth-conditional meaning, Context independent vs. Context dependence.
Tags:
Linguistik Umum
Makalah
0 komentar