Catatan Idul Fitri
#Catatan Idul Fitri
Bagiku, tidak merayakan hari Raya Idhul Fitri bersama orang tua sudah menjadi hal yang biasa. Sejak 2006 lalu, kebersamaan bersama orang tua untuk merayakan hari fitri itu mungkin hanya dua kali saja. Selebihnya kujalani bersama rekan-rekanku di pondok, tempat aku belajar masak dan tidur nyenyak.
Pada Hari Raya Idul Fitri 1438 H ini, ada yang berbeda. Hal itu sangat kurasakan, juga orang tuaku. Sebab, hadirnya Raya Idul Fitri ini tidak lama setelah ada kabar menggemberikan buatku 19 Juni lalu atau waktu Ramadhan yang baru saja lewat. Berkat kemurahan Allah, ternyata dinyatakan lolos seleksi Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) Jalur Afirmasi di bawah Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementrian Keuangan. Jadi meskipun tidak berkumpul, aku yakin mereka yang ada di Jambi pasti bahagia.
Keberkahan luar biasa. Secuil nikmat Tuhan itu, untukku sangatlah besar. Jika hidup ini diibaratan tangga, mungkin aku dinaikkan menuju satu step dengan tantangan lebih besar dan tanggung jawab lebih besar. Pastinya semua orang mengalami hal tersebut.
Sebetulnya diri ini enggan menuliskan kabar ini. Inggin memendamnya hanya untuk rekan, sahabat dekat, guru serta orang tua saja. Namun setelah 6 hari berjalan pasca pengumuman, selalu ada rasa tidak enak. Entalah apa itu.
Tetapi ada satu alasan yang kemudian kutemukan. Hingga akhirnya aku ingin menuliskan kabar ini. Bahwa proses seseorang mencapai kesuksesan itu tidaklah sama. Jangan berbicara kesuksesan tanpa mengungkap prosesnya.
Sebetulnya rencanaku melamar beasiswa bergengsi LPDP itu sudah sejak 2016 lalu. Bahkan semua berkas sudah saya lengkapi di rumah Juli lalu. Berharap bisa mengikuti pendaftaran gelombang 4 pendaftaran LPDP. Namun dalam perjalanan Jambi-Jatim, aku terpaksa harus mengurungkan niatku untuk melamar beasiswa yang digagas sejak 2012 lalu itu. Berkas lengkap yang tersusun rapi di ranselku raib begitu saja dipinjam orang. Tidak hanya berkas, bahkan leptopku yang menyimpan data perkuliahan selama empat tahun juga lenyap bersamanya. Mengingat peristiwa yang terjadi pukul 2.00 dini hari itu rasanya benar-benar menyisakan luka.
Mustahil aku melaporkan kejadian itu pada orang tua saat itu juga. Sebab bisa saja lebih sulit menerinya. Aku tahan informasi itu berbulan.
Strees luar biasa kualami. OK, fix aku sandarkan sesaat rencana ambil beasiswa itu. Itulah yang kemudian menjadi lompatan luar biasa. Aku yang minim pengelaman menulis, kuberanikan terjun dalam dunia tulis-menulis yang katanya penuh tantangan, juga tekanan. Aku tak peduli apapun saat itu. Minimal bisa memiliki kesibukan untuk menghilang stress lalu menyusun kembali rencana dan mengambalikan semangat.
Namun dalam setahun itu, aku dapatkan banyak hal luar biasa lewat profesi yang kujalani. Mengenal banyak tokoh besar negeri ini, mulai dari menteri hingga presiden Joko Widodo yang berkunjuang ke kota Malang untuk membagikan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Serta banyak lagi tokoh inspitarif yang ada di Kota Malang. Dan tak kalah penting adalah mengenal para jurnalis senior profesional dari berbagai media lokal hingga nasional di lapangan. Merekalah yang secara tidak langsung mengajarkanku cara menjadi jurnalis.
Mungkin 2016 lalu bukan waktu yang tepat untuk melamar beasiswa tersebut. Dan ternyata 2017 tepat di bulan Ramadhan 1438 H lalu mejadi hari yang ditentukan menjadi hari yang indah. Waktu itu saat saya dinyatakan lolos sebagai mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi pada Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (SPMB-PTAIN) 2012 silam. Ya, saat itu bertepatan saat minggu awal Ramadhan 1433 H. Tentu itu bukan sebuah kebetulan, karena semua itu sekenario-Nya.
Bagiku, tidak merayakan hari Raya Idhul Fitri bersama orang tua sudah menjadi hal yang biasa. Sejak 2006 lalu, kebersamaan bersama orang tua untuk merayakan hari fitri itu mungkin hanya dua kali saja. Selebihnya kujalani bersama rekan-rekanku di pondok, tempat aku belajar masak dan tidur nyenyak.
Pada Hari Raya Idul Fitri 1438 H ini, ada yang berbeda. Hal itu sangat kurasakan, juga orang tuaku. Sebab, hadirnya Raya Idul Fitri ini tidak lama setelah ada kabar menggemberikan buatku 19 Juni lalu atau waktu Ramadhan yang baru saja lewat. Berkat kemurahan Allah, ternyata dinyatakan lolos seleksi Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) Jalur Afirmasi di bawah Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementrian Keuangan. Jadi meskipun tidak berkumpul, aku yakin mereka yang ada di Jambi pasti bahagia.
Keberkahan luar biasa. Secuil nikmat Tuhan itu, untukku sangatlah besar. Jika hidup ini diibaratan tangga, mungkin aku dinaikkan menuju satu step dengan tantangan lebih besar dan tanggung jawab lebih besar. Pastinya semua orang mengalami hal tersebut.
Sebetulnya diri ini enggan menuliskan kabar ini. Inggin memendamnya hanya untuk rekan, sahabat dekat, guru serta orang tua saja. Namun setelah 6 hari berjalan pasca pengumuman, selalu ada rasa tidak enak. Entalah apa itu.
Tetapi ada satu alasan yang kemudian kutemukan. Hingga akhirnya aku ingin menuliskan kabar ini. Bahwa proses seseorang mencapai kesuksesan itu tidaklah sama. Jangan berbicara kesuksesan tanpa mengungkap prosesnya.
Sebetulnya rencanaku melamar beasiswa bergengsi LPDP itu sudah sejak 2016 lalu. Bahkan semua berkas sudah saya lengkapi di rumah Juli lalu. Berharap bisa mengikuti pendaftaran gelombang 4 pendaftaran LPDP. Namun dalam perjalanan Jambi-Jatim, aku terpaksa harus mengurungkan niatku untuk melamar beasiswa yang digagas sejak 2012 lalu itu. Berkas lengkap yang tersusun rapi di ranselku raib begitu saja dipinjam orang. Tidak hanya berkas, bahkan leptopku yang menyimpan data perkuliahan selama empat tahun juga lenyap bersamanya. Mengingat peristiwa yang terjadi pukul 2.00 dini hari itu rasanya benar-benar menyisakan luka.
Mustahil aku melaporkan kejadian itu pada orang tua saat itu juga. Sebab bisa saja lebih sulit menerinya. Aku tahan informasi itu berbulan.
Strees luar biasa kualami. OK, fix aku sandarkan sesaat rencana ambil beasiswa itu. Itulah yang kemudian menjadi lompatan luar biasa. Aku yang minim pengelaman menulis, kuberanikan terjun dalam dunia tulis-menulis yang katanya penuh tantangan, juga tekanan. Aku tak peduli apapun saat itu. Minimal bisa memiliki kesibukan untuk menghilang stress lalu menyusun kembali rencana dan mengambalikan semangat.
Namun dalam setahun itu, aku dapatkan banyak hal luar biasa lewat profesi yang kujalani. Mengenal banyak tokoh besar negeri ini, mulai dari menteri hingga presiden Joko Widodo yang berkunjuang ke kota Malang untuk membagikan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Serta banyak lagi tokoh inspitarif yang ada di Kota Malang. Dan tak kalah penting adalah mengenal para jurnalis senior profesional dari berbagai media lokal hingga nasional di lapangan. Merekalah yang secara tidak langsung mengajarkanku cara menjadi jurnalis.
Mungkin 2016 lalu bukan waktu yang tepat untuk melamar beasiswa tersebut. Dan ternyata 2017 tepat di bulan Ramadhan 1438 H lalu mejadi hari yang ditentukan menjadi hari yang indah. Waktu itu saat saya dinyatakan lolos sebagai mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi pada Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (SPMB-PTAIN) 2012 silam. Ya, saat itu bertepatan saat minggu awal Ramadhan 1433 H. Tentu itu bukan sebuah kebetulan, karena semua itu sekenario-Nya.
Tags:
Essay

0 komentar