Catatan Hari Raya 2
Merekatkan kembali perseduluran lewat siaturahim merupakan hal penting. Bahkan, sangat dianjurkan. Tradisi wong jowo nyebutne, akeh dulur akeh rezekine. Tidak hanya tradisi saja. Hadis Shohih yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim juga demikian. Silaturahim menjadi jalan pembuka rezeki. Iku syarate pertama yo kudu kenal. Lek gak kenal ya gak mungkin bisa terjadi.
Mari kita lihat fenomena sekarang ini dalam lingkup kecil saja. Sependak perjalanan saya, mengamati budaya silaturahim dari tahun ke tahun dan tempat yang berbeda-beda, ada sedikit pergeseran. Sedikit saja, tidak usah dibanyak-banyakkan.
Pertama, tradisi anak anak kecil berkeliling desa saat hari pertama perayaan idul fitri sangat jarang ditemukan. Jika menemukan mungkin hanya segelintir. Entah apa yang menyibukkan mereka saat ini. Bagaimana tidak? Hari raya belum genap sehari, namun jalanan desa sudah sepi seperti sedia kala. Berharap hari kedua ada keramaian. nampakmya juga tidak ada. Beruntung mereka hari kedua yg menyempatkan berkunjung ke rumah sanak saudaranya untuk sambung silaturahim. Sebab tidak sedikit yg justru memilih berbelanja ke mall atau rekreasi untuk menikmati hasil jarahan mereka, hehe. Jika di desa demikian, bagaimana di Kota? Tidak tahulah...
Kita lanjut. Permasalahan kedua, anak anak yang begitu akrab dengan teman-temannya enggan diajak silaturahim ke rumah sanak saudara yg tidak satu dosa. Dengan alasan malulah, karena merasa sudah besar. Ironisnya orang tua membiarkan begitu saja. Apakah anak-anak akan menyayangi sedulurnya. Jangankan menyayangi, mengenal saja tidak. Itu baru dengan sanak saudaranya. Lah bagaimana dia mengenal sanak saudaraya? Akibatnya meskipun ada ikatan seduluran, karena muka dan tangan tak pernah berjumpa akan acuh saja ketika bertemu.
Sepertinya orang tualah yang harus berjuang. Minimal putra putrinya mengenal sedulurnya lebih dekat lagi. Jika perlu, mengenalkan silsilah seduluran, biar gambleng.
Dan lagi. Kalau jawa punya tradisi sungkem pada orang tua. Jaman sekarang? Bisa dihitung jari saja. Lebih enak mengucapkan minal aidin wal faizin yang artinya, bisa saja mereka tak paham. Sebab hanya belajar lewat iklan tv saat Ramadhan menjelang Idhul Fitri yang marak. Ya, tugas e wong tuolah seng ngajari. Masak haru buka pepak untuk belajarnya. Hehe. Bukan esensia, lewat saja.
Saya juga terlibat dengan masalah silaturahim ini. Bagaimana tidak? Sejak 11 tahun silam sudah belajar hidup nomaden yg jauh dari sanak sau. Dan lagi, saat momentum idhul fitri saya memilih tidak pulang dan hanya berkirim salam melalui orang tua. Atau jika ada rezekinya, silaturahim terhubung lewat telephone pintar.
Akibatnya saya rasakan sekarang. Memori kecilku tempat orang tuaku dibesarkan di Pati-Jawa Tengah, hampir terhapuskan. Sulit mengenali mbah, pakde dan bude serta paklek. Yah, karena saya tidak mau kehilangan rezeki doa dari para orang tua. Saya mulai gali ingatan itu kembali. Sedikitnya sudah dua kali ini aku bersilaturahim di jateng selama 11 tahun ini, tepat saat hari raya idhul fitri. Semoga saja, bisa mematri ingatan itu kembali. Beruntung bisa bersilaturahim.
Hari raya idhul fitri ini memang momentum luat biasa. Hari yang memiliki jeda libur lebih panjang dari hari-hari biasanya. Apakah ada hari libur sepanjang idul fitri? Tidak ada bukan. Justru hari raya qurban yang mestinya empat hari juga hanya sehari saja atau maksimal dua hari libur. Sulit menemukan momentum selain hari fitri ini dalam setahun. Hari dimana semua perusahaan, pabrik, lembaga pendidikan dan pemerintahan memberikan jatah libur oekerjanya. Kecuali di Media, hehe juga penjaga Pom Bensin. Mereka harus tetap berjaga bergantian. Ndakpapalah, kali lain mereka pasti dapat jatah libur juga.
Masihkan kalian sia-siakan momentum berharga ini. Sebaiknya jangan.
Sebetulnya ikatan silaturrahim ada bermacam, ikatan karena agama tentunya. Ikatan sesama manusia yang memiliki rasa kemanusiaan juga ikatan karena hidup di satu negara. Jika dikerucutkan lagi, ya akan akan ada ikatan karena pekerjaan, pertemanan, persabatan, ikatan pelajar, dan kedaerahan atau kesukuan. Yang jelas bukan ikatan mantan. Hehe. Tetapi yg lebih sering dan banyak diutamakan, sependek pengamatan saya ya ikatan keluarga. Ikatan keluarga itu ikatan yang paling kecil bukan. Tapi tak bisa dientengkan.
Sekarang ini jamane serba instan. Jarak sudah tak jadi masalah, jika tak sempat berkunjung. Sediakan paketan, cari sinyal lalu telfon. Bisa lihat wajah mereka langsung atau via suara saja. Eh, bukan iklan. Tetapi setidaknya kita berupaya menjalin ikatan-ikatan kecil itu. Bukannya begitu?~
Pati, 28 Juni 2017
Mari kita lihat fenomena sekarang ini dalam lingkup kecil saja. Sependak perjalanan saya, mengamati budaya silaturahim dari tahun ke tahun dan tempat yang berbeda-beda, ada sedikit pergeseran. Sedikit saja, tidak usah dibanyak-banyakkan.
Pertama, tradisi anak anak kecil berkeliling desa saat hari pertama perayaan idul fitri sangat jarang ditemukan. Jika menemukan mungkin hanya segelintir. Entah apa yang menyibukkan mereka saat ini. Bagaimana tidak? Hari raya belum genap sehari, namun jalanan desa sudah sepi seperti sedia kala. Berharap hari kedua ada keramaian. nampakmya juga tidak ada. Beruntung mereka hari kedua yg menyempatkan berkunjung ke rumah sanak saudaranya untuk sambung silaturahim. Sebab tidak sedikit yg justru memilih berbelanja ke mall atau rekreasi untuk menikmati hasil jarahan mereka, hehe. Jika di desa demikian, bagaimana di Kota? Tidak tahulah...
Kita lanjut. Permasalahan kedua, anak anak yang begitu akrab dengan teman-temannya enggan diajak silaturahim ke rumah sanak saudara yg tidak satu dosa. Dengan alasan malulah, karena merasa sudah besar. Ironisnya orang tua membiarkan begitu saja. Apakah anak-anak akan menyayangi sedulurnya. Jangankan menyayangi, mengenal saja tidak. Itu baru dengan sanak saudaranya. Lah bagaimana dia mengenal sanak saudaraya? Akibatnya meskipun ada ikatan seduluran, karena muka dan tangan tak pernah berjumpa akan acuh saja ketika bertemu.
Sepertinya orang tualah yang harus berjuang. Minimal putra putrinya mengenal sedulurnya lebih dekat lagi. Jika perlu, mengenalkan silsilah seduluran, biar gambleng.
Dan lagi. Kalau jawa punya tradisi sungkem pada orang tua. Jaman sekarang? Bisa dihitung jari saja. Lebih enak mengucapkan minal aidin wal faizin yang artinya, bisa saja mereka tak paham. Sebab hanya belajar lewat iklan tv saat Ramadhan menjelang Idhul Fitri yang marak. Ya, tugas e wong tuolah seng ngajari. Masak haru buka pepak untuk belajarnya. Hehe. Bukan esensia, lewat saja.
Saya juga terlibat dengan masalah silaturahim ini. Bagaimana tidak? Sejak 11 tahun silam sudah belajar hidup nomaden yg jauh dari sanak sau. Dan lagi, saat momentum idhul fitri saya memilih tidak pulang dan hanya berkirim salam melalui orang tua. Atau jika ada rezekinya, silaturahim terhubung lewat telephone pintar.
Akibatnya saya rasakan sekarang. Memori kecilku tempat orang tuaku dibesarkan di Pati-Jawa Tengah, hampir terhapuskan. Sulit mengenali mbah, pakde dan bude serta paklek. Yah, karena saya tidak mau kehilangan rezeki doa dari para orang tua. Saya mulai gali ingatan itu kembali. Sedikitnya sudah dua kali ini aku bersilaturahim di jateng selama 11 tahun ini, tepat saat hari raya idhul fitri. Semoga saja, bisa mematri ingatan itu kembali. Beruntung bisa bersilaturahim.
Hari raya idhul fitri ini memang momentum luat biasa. Hari yang memiliki jeda libur lebih panjang dari hari-hari biasanya. Apakah ada hari libur sepanjang idul fitri? Tidak ada bukan. Justru hari raya qurban yang mestinya empat hari juga hanya sehari saja atau maksimal dua hari libur. Sulit menemukan momentum selain hari fitri ini dalam setahun. Hari dimana semua perusahaan, pabrik, lembaga pendidikan dan pemerintahan memberikan jatah libur oekerjanya. Kecuali di Media, hehe juga penjaga Pom Bensin. Mereka harus tetap berjaga bergantian. Ndakpapalah, kali lain mereka pasti dapat jatah libur juga.
Masihkan kalian sia-siakan momentum berharga ini. Sebaiknya jangan.
Sebetulnya ikatan silaturrahim ada bermacam, ikatan karena agama tentunya. Ikatan sesama manusia yang memiliki rasa kemanusiaan juga ikatan karena hidup di satu negara. Jika dikerucutkan lagi, ya akan akan ada ikatan karena pekerjaan, pertemanan, persabatan, ikatan pelajar, dan kedaerahan atau kesukuan. Yang jelas bukan ikatan mantan. Hehe. Tetapi yg lebih sering dan banyak diutamakan, sependek pengamatan saya ya ikatan keluarga. Ikatan keluarga itu ikatan yang paling kecil bukan. Tapi tak bisa dientengkan.
Sekarang ini jamane serba instan. Jarak sudah tak jadi masalah, jika tak sempat berkunjung. Sediakan paketan, cari sinyal lalu telfon. Bisa lihat wajah mereka langsung atau via suara saja. Eh, bukan iklan. Tetapi setidaknya kita berupaya menjalin ikatan-ikatan kecil itu. Bukannya begitu?~
Pati, 28 Juni 2017
Tags:
Essay

0 komentar