Apa Esensi Sekolah Lima Hari?
![]() |
| pelajar di tapal batas. ©2017 instagram.com/anggitpurwoto |
Wacana sekolah lima hari yang kabarnya bakal diterapkan tahun
ajaran baru, Juli mendatang, menuai pro-kontra. Para pakar pendidikan, dan juga
kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta Organisasi Masyarakat (Ormas) pun
ikut bersuara, menyikapi kebijakan tersebut. Sebagian pihak memberikan dukungan
atas program tersebut. Disisi lain juga ada penolakan yang begitu derasnya.
Sebenarnya apakah esensi dari program tersebut?
Menteri pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
Prof Dr Muhadjir Effendy terbilang Menteri Pendidikan yang banyak mengeluarkan
kebijakan sejak resmi menjabat menteri, 27 Juli 2016 lalu. Diantaranya ada
kebijakan Full Day School, guru sertifikasi wajib delapan di sekolah,
moratorium Ujian Nasional (UN), dan kemudian kebijakan sekolah selama lima hari
dalam sepekan, mulai Senin hingga Jumat.
Yang saat ini ramai sedang diperbincangkan
diberbagai ruang publik adalah kebijakan lima hari dalam sepekan yang bakal
diterapkan tahun ajaran baru 2017/2018 Juli mendatan. Sebab mendatangkan banyak
penolakan dari sebagian pihak. Misalnya dari Menteri Agama Lukman Hakim
Saifudin, juga dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), kemudian dari PBNU serta
beberapa ormas. Namun tidak sedikit pula yang memberikan dukungan atas
keberanian mendikbud untuk menerapkan kebijakan tersebut.
Sebetulnya jika ditelaah mendalam, beberapa
kebijakan Mendikbud sekolah lima itu sepaket dengan program Pendidikan
Penguatan Karakter (PPK) atau kerap disebut full day school, juga
kebijakan guru mengajar delapan jam di sekolah.
Program yang diarahkan untuk mendukung
penanaman lima karakter yang dalam PPK. Yaitu, religius, nasionalisme,
integritas, kemandirian dan gotong royong. Dijelaskan pula, penguatan karakter tersebut tidak berarti siswa akan belajar selama delapan
jam di kelas. Tetapi bisa di lingkungan seperti surau, masjid, gereja, pura,
lapangan sepak bola, musium, taman budaya, sanggar seni, dan tempat-tempat
lainnya dapat menjadi sumber belajar. Proporsinya lebih banyak ke pembentukan
karakter, sekitar 70 persen dan pengetahuan 30 persen.
Dengan pendidikan selama lima hari full di sekolah, diharapkan bisa
dimaksimalkan untuk penanamkan nilai tersebut. Selebihnya, Sabtu Minggu siswa
bisa mendapatkan pendidikan dari keluarga.
Tujuan dari adanya sistem yang wacanakan
tersebut sangat baik. Masalahnya, apakah sekolah tersebut benar-benar siap
menerapkan sistem tersebut? Hal itulah yang sejak perlu dikaji.
Butuh Kajian Akademik
Hadirnya sebuah kebijakan, setidaknya
didasarkan pada kajian naskah akademik. Pertanyaannya, adakah hasil riset yang
melandasi pengambilan kebijakan sekolah lima hari itu lebih efektif ketimbang
enam hari di sekolah?
Kalaupun ada, mungkin hanya di kota-kota besar saja. Misalnya di Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Kota Malang. Sebab, realitas
pendidikan di Indonesia dapat dikatakan belum merata hingga saat ini. Dan bisa
jadi, Mendikbud mengadopsi sistem tersebut dari Kota Malang tempat menunaikan
kewajibannya sebagai rektor UMM sebelum menjadi menteri.
Meskipun demikian, pendidikan enam hari pada
umumnya harus dievaluasi terlebih dahulu. Adakah masalah yang terjadi dalam
sistem tersebut? Jika problem utama adalah pendidikan karakter, tentu bukan jam
efektif di sekolah yang harus dirubah. Namun bagaimana internalisasi lima nilai
yang diharapkan dalam pembelajaran di sekolah. Sehingga porsi siswa belajar di
sekolah, berinteraksi dengan masyarakat dan mendapat pendidikan dari keluarga
tetap ada.
Jika dibandingkan dengan kebijakan lima hari
sekolah dan seharinya delapan jam, mulai pukul 08.00 s.d 16.00, mungkin beban
mendidik karakter siswa lebih pada dua pihak saja. Yaitu sekolah serta orang tua di rumah.
Sementara porsi siswa berinterasi dengan masyarakat bisa jadi tidak ada. Sebab
dengan penuh seharian di sekolah, kemungkinan siswa terforsir dan tidak sempat
bermain.
Untuk Sabtu-Minggu yang diharapkan siswa bisa
berinteraksi dan mendapat pendidikan karater dari orang tua harus juga harus
dikaji. Sebab, belum tentu dua hari tersebut libur kerja. Akibatnya, waktu
libur lebih lama dari biasanya bisa jadi tidak terkontrol.
Lebih penting dari itu, karakteristik peserta
didik di masing-masing daerah diketahui. Sebab, ada yang sehabis sekolah harus
membantu orang tua bekerja bertani atau berternak untuk mencukupi kebutuhan
sehar-hari.
Selain itu ada pula daerah yang juga memiliki
tradisi penyelenggaran pendidikan madrasah diniyah (Madin) dan juga Taman
Pendidikan Quran (TPQ) yang diselenggarakan sepulang sekolah, mulai pukul 15.00
WIB.
Selain itu membutuhkan faktor penunjang
lainnya. Misalnya kanti sekolah yang sehat dan bisa melayani kebutuhan siswa
selama full day di sekolah. Sarana belajar yang tidak membosankan, serta tempat
ibadah yang cukup. Sudahkah sekolah memiliki fasilitas tersebut?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menolak kebijakan tersebut. Sebab kebijakan itu dipastikan berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan keagamaan yang selama ini dikelola oleh masyarakat. Bahkan sudah menjadi bagian dari bentuk kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menolak kebijakan tersebut. Sebab kebijakan itu dipastikan berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan keagamaan yang selama ini dikelola oleh masyarakat. Bahkan sudah menjadi bagian dari bentuk kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Sistem pendidikan ala Local Wisdom Bisa Jadi Solusi
Menyikapi polemik kebijakan sekolah lima hari, mungkin faktor local
wisdom bisa menjadi pertimbangan. Sebab, diakui atau tidak, wilayah
Indonesia ini sangat luas, terdiri dari belasan ribu pulau yang mengakibatkan
persebaran pendidikan belum merata hingga saat ini. Akankah semua daerah
dipaksa untuk menerapkan kebijakan tersebut Juli mendatang?
Memaksa mungkin saja, tetapi apakah esensi yang dimaksudkan bisa dicapai?
untuk mencapainya membutuhkan proses penyesuaian. Bagaimana pendidikan karakter
dengan lima nilai yang dimaksudkan, bisa diinternalisasi nilai-nilai itu pada
jam sekolah.
Sebetulnya, pemberlakukan otonomi daerah Undang-undang (UU) 23 Tahun 2014
tentang pemerintah daerah, bisa membantu dalam internalisasi nilai-nilai yang
dimaksudkan dalam PPK tanpa harus mengikuti sekolah lima hari. Pemerintah kabupaten/kota
bertanggung jawab untuk pelaksanaan SD/SMP. Kemudian Provinsi bertanggungjawab
atas SMA/SMK.
Yang memungkinkan rutinitas sepulang sekolah biasaya ada kegiatan TPQ atau
mungkin bisa menjalin menjalin kerjasama dengan sekolah, sehingga aktivitas
mengaji dan memperdalam wawasan religius tetap jalan. Sehingga tradisi tersebut tidak hilang.
Kemudian untuk biasanya bertani atau bekerja membantu orang tua, bisa dikenalkan
kegiatan wirausaha untuk mendorong kemandirian.
Tags:
Essay

0 komentar